Selasa, 25 Februari 2014

APOKRIFA



Makna asli kata Yunani a·po′kry·fos digunakan dalam tiga ayat Alkitab untuk memaksudkan hal-hal yang ”terselubung dengan cermat” atau ”tersembunyi dengan cermat”. (Mrk 4:22; Luk 8:17; Kol 2:3) Jika diterapkan untuk karya-karya tulis, kata itu pada mulanya memaksudkan karya tulis yang tidak dibacakan di depan umum, dengan demikian ”terselubung” dari orang lain. Namun, belakangan kata itu mengandung arti tidak asli atau tidak kanonis, dan dewasa ini paling umum digunakan untuk memaksudkan tulisan-tulisan tambahan yang oleh Gereja Katolik Roma pada Konsili Trente (1546) dinyatakan sebagai bagian kanon Alkitab. Para penulis Katolik menyebut buku-buku ini deuterokanonika, artinya ”bagian dari kanon kedua (atau terkemudian)”, untuk membedakannya dari buku-buku protokanonika.
Tulisan-tulisan tambahan ini ialah Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin Sirakh, Barukh, 1 dan 2 Makabe, tambahan-tambahan pada kitab Ester, dan tiga tambahan pada kitab Daniel: Nyanyian Ketiga Anak Kudus, Susana dan para Tua-Tua, dan Kebinasaan Bel dan Naga. Kapan tepatnya buku-buku ini ditulis tidak dapat dipastikan, tetapi menurut bukti yang ada, tidak lebih awal daripada abad kedua atau ketiga SM.
Bukti yang Menentang Kekanonisannya. Meskipun dalam beberapa kasus tulisan-tulisan ini mengandung beberapa nilai sejarah, pernyataan bahwa tulisan-tulisan ini kanonis tidak didukung oleh dasar kuat apa pun. Bukti menunjukkan bahwa kanon Ibrani ditutup pada abad kelima SM, dengan selesainya penulisan buku Ezra, Nehemia, dan Maleakhi. Tulisan-tulisan Apokrifa tidak pernah dimasukkan ke dalam kanon Yahudi untuk Tulisan-Tulisan Kudus yang terilham dan sekarang pun tidak menjadi bagiannya.
Sejarawan Yahudi abad pertama bernama Yosefus memperlihatkan bahwa yang diakui hanyalah beberapa buku (dari kanon Ibrani) yang dipandang suci tersebut, dengan menyatakan, ”Kami tidak memiliki banyak sekali buku yang tidak konsisten, yang saling bertentangan. Buku-buku kami, yang secara sah diakui, hanya ada dua dan dua puluh [sama dengan ke-39 Kitab-Kitab Ibrani menurut pembagian zaman modern], dan memuat catatan tentang segala zaman.” Setelah itu, ia dengan jelas memperlihatkan bahwa ia tahu akan keberadaan buku-buku Apokrifa, juga bahwa buku-buku itu tidak dimasukkan dalam kanon Ibrani, dengan menambahkan, ”Sejak Artahsasta hingga zaman kami, sejarah lengkap telah ditulis, tetapi tidak dianggap pantas disamakan nilainya dengan catatan-catatan yang lebih awal, karena tidak ada urutan nabi yang tepat.”—Against Apion, I, 38, 41 (8).
Termasuk dalam ”Septuaginta”. Argumen-argumen yang mendukung kekanonisan tulisan-tulisan ini pada umumnya berkisar pada fakta bahwa tulisan-tulisan Apokrifa ini terdapat dalam banyak salinan awal Kitab-Kitab Ibrani terjemahan Septuaginta Yunani, yang pengalihbahasaannya dimulai di Mesir sekitar tahun 280 SM. Akan tetapi, karena naskah asli Septuaginta sudah tidak ada, kita tidak dapat menyatakan dengan pasti bahwa buku-buku Apokrifa pada mulanya termasuk dalam karya itu. Banyak, atau mungkin sebagian besar, tulisan Apokrifa diakui ditulis setelah penerjemahan Septuaginta dimulai, sehingga pasti tidak terdapat dalam daftar asli buku-buku yang oleh tim penerjemah dipilih untuk diterjemahkan. Oleh karena itu, buku-buku tersebut paling-paling hanya dapat dianggap sebagai tambahan ekstra pada karya itu.
Selain itu, walaupun pada akhirnya orang Yahudi yang berbahasa Yunani di Aleksandria menyisipkan tulisan-tulisan Apokrifa ke dalam Septuaginta Yunani dan tampaknya menganggapnya sebagai bagian kanon tulisan-tulisan suci yang diperluas, pernyataan Yosefus yang dikutip di atas memperlihatkan bahwa tulisan-tulisan itu tidak pernah dimasukkan ke dalam kanon Yerusalem atau Palestina, dan paling-paling dianggap sebagai tulisan-tulisan sekunder belaka dan bukan berasal dari Allah. Oleh karena itu, Konsili Yahudi di Yamnia (sekitar tahun 90 M) secara spesifik tidak memasukkan tulisan-tulisan semacam itu dalam kanon Ibrani.
Pernyataan rasul Paulus di Roma 3:1, 2 dengan jelas menunjukkan perlunya mempertimbangkan pendirian orang Yahudi dalam masalah ini.
Bukti kuno lainnya. Salah satu bukti eksternal utama yang menentang kekanonisan Apokrifa adalah fakta bahwa tidak satu pun penulis Alkitab Kristen pernah mengutip buku-buku ini. Memang hal itu sendiri bukan faktor penentu, mengingat bahwa dalam tulisan-tulisan mereka juga tidak terdapat kutipan-kutipan dari beberapa buku yang diakui kanonis, seperti Ester, Pengkhotbah, dan Kidung Agung, tetapi fakta bahwa tidak satu pun tulisan Apokrifa yang dikutip bahkan satu kali tentunya patut disimak.
Yang juga tidak bisa diabaikan adalah fakta bahwa para pakar Alkitab dan ”bapak-bapak gereja” yang terkemuka dari abad-abad pertama Tarikh Masehi pada umumnya menganggap Apokrifa kurang penting. Origenes dari awal abad ketiga M, sebagai hasil penyelidikan yang cermat, membedakan tulisan-tulisan ini dengan tulisan-tulisan yang termasuk kanon sejati. Atanasius, Sirilus dari Yerusalem, Gregorius dari Nazianzus, dan Amfilosius, semuanya dari abad keempat M, menyusun katalog-katalog yang berisi daftar tulisan suci sesuai dengan kanon Ibrani dan tulisan-tulisan tambahan ini mereka abaikan atau tempatkan sebagai tulisan kelas dua.
Yerome, yang digambarkan sebagai ”pakar Ibrani terbaik” di kalangan gereja masa awal dan yang merampungkan Vulgata Latin pada tahun 405 M, dengan tegas menentang buku-buku Apokrifa tersebut; malah, ia adalah orang pertama yang menggunakan kata ”Apokrifa” secara eksplisit untuk menyatakan bahwa tulisan-tulisan ini tidak kanonis. Karena itu, dalam kata pengantarnya untuk buku Samuel dan Raja-Raja, Yerome mendaftarkan buku-buku terilham yang ada dalam Kitab-Kitab Ibrani selaras dengan kanon Ibrani (yang mengelompokkan ke-39 buku menjadi 22 buku) dan selanjutnya mengatakan, ”Jadi, ada dua puluh dua buku . . . Kata pengantar Tulisan-Tulisan Kudus ini dapat menjadi pelindung awal untuk semua buku yang kami terjemahkan dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Latin; agar kita dapat mengetahui bahwa apa pun di luar ini harus digolongkan sebagai apokrifa.” Dalam surat kepada seorang wanita bernama Laeta tentang pendidikan putrinya, Yerome menasihati, ”Hendaklah ia menjauhi semua buku apokrifa, dan jika ia memang ingin membacanya, bukan untuk kebenaran doktrin-doktrinnya melainkan karena menyukai cerita-ceritanya yang mengagumkan, hendaklah ia sadar bahwa buku-buku itu tidak benar-benar ditulis oleh orang-orang yang dianggap sebagai penulisnya, bahwa ada banyak hal yang salah di dalamnya, dan bahwa dibutuhkan keterampilan yang luar biasa untuk mencari emas di dalam lumpur.”—Select Letters, CVII.
Pandangan Katolik yang berbeda-beda. Kecenderungan untuk memasukkan tulisan-tulisan tambahan ini dan menyatakannya kanonis khususnya dimulai oleh Agustinus (354-430 M), kendati dalam karya-karyanya yang terkemudian ia pun mengakui bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara buku-buku yang termasuk kanon Ibrani dan ”buku-buku luar” tersebut. Akan tetapi, Gereja Katolik, yang mengikuti apa yang dilakukan Agustinus, memasukkan tulisan-tulisan tambahan ini ke dalam kanon buku-buku suci yang ditetapkan oleh Konsili Kartago pada tahun 397 M. Akan tetapi, baru pada tahun 1546 M, pada Konsili Trente, Gereja Katolik Roma dengan tegas meneguhkan penerimaan buku-buku tambahan ini ke dalam katalog buku-buku Alkitab, dan tindakan ini dianggap perlu karena, bahkan dalam gereja, pendapat tentang tulisan-tulisan ini masih berbeda-beda. John Wycliffe, imam dan pakar Katolik Roma, yang belakangan dibantu oleh Nicholas dari Hereford, membuat terjemahan Alkitab pertama ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-14, memasukkan Apokrifa ke dalam karyanya, namun prakata terjemahan ini menyatakan bahwa tulisan-tulisan tersebut ”tanpa wewenang kepercayaan”. Kardinal Kayetanus dari Ordo Dominikan, seorang teolog Katolik terkemuka pada zamannya (1469-1534 M) dan yang disebut ”pelita Gereja” oleh Klemens VII, juga membuat perbedaan antara buku-buku dalam kanon Ibrani sejati dan karya-karya Apokrifa, dengan merujuk kepada tulisan-tulisan Yerome sebagai narasumber.
Yang juga patut diperhatikan adalah Konsili Trente tidak menerima semua tulisan yang pernah disetujui oleh Konsili Kartago yang lebih awal tetapi menyingkirkan tiga tulisan ini: Doa Manasye dan 1 serta 2 Esdras (bukan 1 dan 2 Esdras yang, dalam Alkitab Katolik Douay, sama dengan Ezra dan Nehemia). Jadi, ketiga tulisan, yang selama lebih dari 1.100 tahun tercantum dalam Vulgata Latin yang diakui, kini dikeluarkan.
Bukti internal. Bukti internal yang menentang kekanonisan tulisan-tulisan Apokrifa malah lebih berbobot daripada bukti eksternalnya. Tulisan-tulisan ini sama sekali tidak mempunyai unsur nubuat. Isi dan ajarannya kadang-kadang bertolak belakang dengan yang terdapat dalam buku-buku kanonis dan juga mengandung banyak kontradiksi. Ada banyak sekali unsur historis dan geografis yang tidak akurat dan anakronistis. Dalam beberapa kasus, para penulisnya terbukti tidak jujur karena menyalahgambarkan karya mereka sebagai karya penulis terilham yang lebih awal. Mereka nyata-nyata berada di bawah pengaruh Yunani kafir, dan adakalanya menggunakan bahasa yang muluk-muluk serta gaya kesusastraan yang sama sekali bukan ciri Tulisan-Tulisan Kudus yang terilham. Dua di antara para penulisnya menyiratkan bahwa mereka tidak diilhami. (Lihat Kata Pengantar Kitab Yesus bin Sirakh; 2 Makabe 2:23-31; 15:37-39; kecuali disebutkan lain, semua kutipan diambil dari Deuterokanonika terbitan LBI.) Jadi, dapat dikatakan bahwa bukti terbaik bahwa Apokrifa tidak kanonis adalah Apokrifa itu sendiri. Berikut ini adalah pembahasan buku demi buku:
Tobit (Tobia). Kisah tentang seorang Yahudi yang saleh dari suku Naftali yang dideportasi ke Niniwe dan menjadi buta karena kedua matanya kejatuhan tahi burung. Ia mengutus putranya, Tobia, ke Media untuk menagih utang, dan Tobia dibimbing oleh seorang malaikat, yang menjelma sebagai manusia, ke Ekbatana (Rages, menurut beberapa terjemahan). Dalam perjalanan, ia mendapatkan jantung, hati, dan empedu ikan. Ia berjumpa dengan seorang janda yang, meskipun telah menikah tujuh kali, tetap perawan karena semua suaminya mati dibunuh pada malam pengantin oleh Asmodeus si roh jahat. Atas anjuran sang malaikat, Tobia menikahi janda yang masih perawan itu, dan dengan membakar jantung dan hati ikan, ia mengusir hantu tersebut. Setelah kembali ke rumah, ia memulihkan penglihatan ayahnya dengan menggunakan empedu ikan.
Cerita ini pada mulanya mungkin ditulis dalam bahasa Aram dan diperkirakan berasal dari sekitar abad ketiga SM. Cerita itu jelas tidak diilhamkan Allah karena dalam narasinya terdapat takhayul dan hal-hal yang tidak benar. Ketidakakuratan yang terdapat di dalamnya antara lain: Kisah itu menyatakan bahwa semasa mudanya, Tobit menyaksikan pemberontakan suku-suku di utara, yang terjadi pada tahun 997 SM setelah kematian Salomo (Tobit 1:4, 5), juga bahwa ia kemudian dideportasi ke Niniwe bersama suku Naftali, pada tahun 740 SM. (Tobit 1:10-12) Itu berarti ia hidup lebih dari 257 tahun, sedangkan Tobias 14:1-3 mengatakan bahwa ia mati pada usia 112 tahun.
Yudit. Buku ini memuat kisah tentang seorang janda Yahudi yang cantik di kota ”Betulia”. Nebukhadnezar mengutus panglimanya, Holofernes, dalam suatu kampanye militer ke wilayah barat untuk menghancurkan semua ibadat kecuali ibadat Nebukhadnezar sendiri. Orang Yahudi dikepung di Betulia, tetapi Yudit berpura-pura mengkhianati perjuangan orang Yahudi dan diperbolehkan masuk ke perkemahan Holofernes, dan di sana wanita itu memberinya laporan palsu tentang keadaan kota. Pada suatu perjamuan, ketika Holofernes menjadi mabuk, wanita itu berhasil memenggal kepalanya dengan pedang sang panglima lalu kembali ke Betulia dengan membawa kepalanya. Keesokan paginya, perkemahan musuh dikacaubalaukan, dan orang Yahudi mendapatkan kemenangan mutlak.
Sebagaimana dikomentari oleh terjemahan Katolik The Jerusalem Bible dalam Pengantarnya untuk buku Tobit, Yudit dan Ester, ”Buku Yudit khususnya terang-terangan tidak mempedulikan sejarah dan geografi.” Ketidakkonsistenan yang ditunjukkan dalam pengantar itu antara lain: Peristiwa-peristiwa dinyatakan terjadi pada masa pemerintahan Nebukhadnezar, yang disebut sebagai ”raja orang-orang Asyur di Niniwe, kota yang besar”. (Yudit 1:1, 7 [1:5, 10, Dy]) Pengantar dan catatan-catatan kaki terjemahan ini menunjukkan bahwa Nebukhadnezar adalah raja Babilonia dan tidak pernah memerintah di Niniwe, sebab Niniwe telah dibinasakan sebelumnya oleh ayah Nebukhadnezar, Nabopolasar.
Sehubungan dengan rute perjalanan pasukan Holofernes, Pengantar ini menyatakan bahwa rute itu ”mustahil secara geografis”. The Illustrated Bible Dictionary (Jil. 1, hlm. 76) berkomentar, ”Cerita itu adalah fiksi murni—kalau tidak, ketidakakuratannya sungguh sulit dipercaya.”—Diedit oleh J. D. Douglas, 1980.
Diduga, buku ini ditulis di Palestina pada periode Yunani menjelang akhir abad kedua atau permulaan abad pertama SM. Menurut perkiraan, buku ini pada mulanya ditulis dalam bahasa Ibrani.
Tambahan-Tambahan pada Kitab Ester. Ini terdiri dari enam bagian tambahan. Sebelum pasal pertama di beberapa teks Yunani kuno dan Latin (tetapi Est 11:2–12:6 dalam Dy) terdapat bagian pertama, terdiri dari 17 ayat, yang menceritakan mimpi Mordekai dan bagaimana ia membongkar komplotan yang menentang raja. Setelah 3:13 (tetapi 13:1-7 dalam Dy) tambahan kedua menyajikan teks dekret raja tentang pembinasaan orang Yahudi. Pada penutup pasal 4 (tetapi 13:8–14:19 dalam Dy) doa-doa yang dipanjatkan Mordekai dan Ester disebutkan sebagai tambahan ketiga. Tambahan keempat ditempatkan setelah 5:2 (tetapi 15:1-19 dalam Dy) dan menceritakan kembali kunjungan Ester menghadap raja. Yang kelima ditempatkan setelah 8:12 (tetapi 16:1-24 dalam Dy) dan memuat dekret raja yang memperbolehkan orang Yahudi membela diri. Pada penutup buku itu (tetapi 10:4–11:1 dalam Dy) mimpi yang diceritakan dalam pengantar Apokrifa ini ditafsirkan.
Penempatan tambahan-tambahan ini berbeda-beda di berbagai terjemahan; ada yang menempatkan semuanya di akhir buku (seperti yang dilakukan Yerome dalam terjemahannya) dan yang lain menempatkannya berselang-seling dengan teks yang kanonis.
Di bagian pertama Apokrifa ini, Mordekai diceritakan berada di antara para tawanan yang dibawa oleh Nebukhadnezar, pada tahun 617 SM, dan menjadi orang penting di istana pada tahun kedua pemerintahan Raja Ahasweros (Yn. menyebutnya Artahsasta) lebih dari satu abad kemudian. Pernyataan bahwa Mordekai menduduki jabatan yang demikian penting di bagian yang begitu awal pada masa pemerintahan raja bertolak belakang dengan pernyataan dalam buku Ester yang kanonis. Tambahan-tambahan Apokrifa dianggap sebagai karya seorang Yahudi dari Mesir dan ditulis pada abad kedua SM.
Kebijaksanaan Salomo. Ini adalah karya tulis yang sangat mengagungkan manfaat hikmat ilahi bagi orang-orang yang mencarinya. Hikmat dipersonifikasi sebagai wanita surgawi, dan doa Salomo memohon hikmat disertakan dalam teksnya. Bagian terakhir mengulas sejarah dari Adam hingga penaklukan Kanaan, yang dijadikan contoh yang memperlihatkan bahwa hikmat menghasilkan berkat dan tidak adanya hikmat mengakibatkan malapetaka. Kebodohan penyembahan patung dibahas.
Meskipun tidak secara langsung disebutkan namanya, Salomo diperlihatkan sebagai penulis buku ini di beberapa ayatnya. (Kebijaksanaan Salomo 9:7, 8, 12) Tetapi buku ini mengutip beberapa bagian dari buku-buku Alkitab yang ditulis berabad-abad setelah kematian Salomo (± 998 SM) dan juga dari Septuaginta Yunani, yang mulai diterjemahkan sekitar tahun 280 SM. Ada yang berpendapat bahwa penulisnya adalah orang Yahudi di Aleksandria, Mesir, yang menulis buku ini sekitar pertengahan abad pertama SM.
Sang penulis sangat mengandalkan filsafat Yunani. Ia menggunakan peristilahan Plato ketika mengemukakan doktrin jiwa manusia yang tidak berkematian. (Kebijaksanaan Salomo 2:23; 3:2, 4) Konsep-konsep kafir lain yang disajikan ialah praeksistensi jiwa manusia dan anggapan bahwa tubuh adalah penghalang atau perintang bagi jiwa. (8:19, 20; 9:15) Penyajian kejadian-kejadian sejarah dari Adam hingga Musa dibumbui banyak perincian yang bersifat khayalan, yang sering kali berbeda dengan catatan kanonisnya.
Meskipun beberapa karya referensi berupaya memperlihatkan adanya persamaan antara bagian-bagian dari tulisan Apokrifa ini dengan Kitab-Kitab Yunani Kristen yang ditulis belakangan, persamaannya sering kali tidak berarti dan, bahkan apabila lebih berbobot, tidak membuktikan bahwa para penulis Kristen mengambil dari karya Apokrifa ini tetapi, sebaliknya, mereka mengambil dari Kitab-Kitab Ibrani yang kanonis, yang juga digunakan oleh penulis Apokrifa.
Yesus bin Sirakh. Buku ini berbeda dengan buku-buku Apokrifa yang lain karena merupakan yang terpanjang dan satu-satunya yang pengarangnya diketahui, yakni Yesus bin Sirakh dari Yerusalem. Sang penulis memaparkan sifat dasar hikmat dan penerapannya agar berhasil dalam hidup. Kepatuhan kepada Hukum sangat ditandaskan. Ada nasihat tentang banyak aspek tingkah laku sosial dan kehidupan sehari-hari, termasuk komentar tentang tata krama di meja makan, mimpi, dan perjalanan. Bagian penutup berisi tinjauan tentang tokoh-tokoh penting di Israel, dengan tokoh terakhir Imam Besar Simon II.
Bertentangan dengan pernyataan Paulus di Roma 5:12-19, yang menyatakan bahwa Adam-lah yang bertanggung jawab atas dosa, Kitab Yesus bin Sirakh mengatakan, ”Permulaan dosa dari perempuan dan karena dialah kita sekalian mesti mati.” (25:24) Sang penulis juga memilih ”keburukan apa saja, asal bukan keburukan perempuan”.—25:13.
Buku ini pada mulanya ditulis dalam bahasa Ibrani pada awal abad kedua SM. Talmud Yahudi mengutip dari buku ini.
Barukh dan Surat Nabi Yeremia. Lima pasal pertama buku ini dibuat seolah-olah ditulis oleh Barukh, sahabat dan sekretaris Yeremia; pasal keenam dikemukakan sebagai surat yang ditulis oleh Yeremia sendiri. Buku ini memuat ungkapan-ungkapan pertobatan dan doa memohonkan kelegaan yang diucapkan orang-orang Yahudi buangan di Babilon, nasihat untuk mengikuti hikmat, anjuran untuk berharap pada janji pembebasan, dan kecaman atas penyembahan berhala ala Babilon.
Barukh digambarkan berada di Babilon (Barukh 1:1, 2), sedangkan catatan Alkitab memperlihatkan bahwa ia pergi ke Mesir, seperti halnya Yeremia, dan tidak ada bukti bahwa Barukh pernah berada di Babilon. (Yer 43:5-7) Bertentangan dengan nubuat Yeremia bahwa selama pembuangan di Babilon, Yehuda akan ditelantarkan selama 70 tahun (Yer 25:11, 12; 29:10), Barukh 6:2 memberi tahu orang Yahudi bahwa mereka akan berada di Babilon selama tujuh angkatan atau generasi dan kemudian dibebaskan.
Yerome, dalam prakatanya untuk buku Yeremia, menyatakan, ”Menurut saya, tidak ada gunanya menerjemahkan buku Barukh.” Dalam pengantar untuk buku ini di The Jerusalem Bible (hlm. 1128) tersirat bahwa bagian-bagian dari karya ini mungkin baru ditulis pada abad kedua atau pertama SM; jadi oleh penulis(-penulis) lain dan bukan oleh Barukh. Bahasa aslinya mungkin adalah Ibrani.
Nyanyian Ketiga Anak Kudus. Tambahan pada buku Daniel ini dibuat untuk ditempatkan setelah Daniel 3:23. Tambahan ini terdiri dari 67 ayat yang menguraikan doa yang konon diucapkan oleh Azaria di dalam tanur api, disusul oleh kisah tentang malaikat yang memadamkan kobaran api, dan akhirnya sebuah lagu yang dinyanyikan oleh ketiga orang Ibrani di dalam tanur itu. Lagunya mirip dengan Mazmur 148. Akan tetapi, apa yang disebutkan tentang bait, para imam, dan kerub tidak cocok dengan waktu yang diakuinya. Buku ini mungkin pada mulanya ditulis dalam bahasa Ibrani dan dianggap berasal dari abad pertama SM.
Susana dan para Tua-Tua. Cerita pendek ini berkisah tentang suatu insiden dalam kehidupan istri cantik Yoyakim, seorang Yahudi yang kaya di Babilon. Ketika sedang mandi, Susana didekati oleh dua orang tua-tua Yahudi yang mendesaknya untuk melakukan perzinaan dengan mereka dan, ketika ia menolak, mereka melontarkan tuduhan palsu terhadapnya. Sewaktu diadili, ia dijatuhi hukuman mati, tetapi Daniel yang masih muda dengan cerdik menyingkapkan kesalahan kedua tua-tua itu, dan Susana dibebaskan dari tuduhan. Bahasa aslinya tidak dapat dipastikan. Buku ini dianggap ditulis pada abad pertama SM. Dalam Septuaginta Yunani, buku ini ditempatkan sebelum buku Daniel yang kanonis, dan dalam Vulgata Latin, ditempatkan setelahnya. Beberapa terjemahan memasukkannya sebagai pasal ke-13 buku Daniel.
Kebinasaan Bel dan Naga. Ini adalah tambahan ketiga pada buku Daniel, dan dalam beberapa terjemahan ditempatkan sebagai pasal ke-14. Dalam kisahnya, Raja Kores mengharuskan Daniel menyembah patung berhala dewa Bel. Dengan menaburkan abu pada lantai kuil agar jejak-jejak kaki bisa terdeteksi, Daniel membuktikan bahwa makanan yang katanya dimakan oleh berhala itu sesungguhnya dimakan oleh para imam kafir dan keluarga mereka. Para imam itu dibunuh, dan Daniel menghancurkan berhala tersebut. Daniel diminta oleh raja untuk menyembah seekor naga hidup. Daniel membinasakan sang naga tetapi ia dilemparkan ke kandang singa oleh penduduk yang marah. Sewaktu Daniel dikurung selama tujuh hari di sana, seorang malaikat mengangkat Habakuk dengan memegang rambutnya dan membawa dia serta semangkuk bubur dari Yudea ke Babilon untuk memberi makan Daniel. Habakuk kemudian dikembalikan ke Yudea, Daniel dibebaskan dari kandang singa, lalu para penentangnya dijebloskan ke sana dan dilahap oleh singa-singa itu. Tambahan ini juga dianggap berasal dari abad pertama SM. Tambahan-tambahan pada buku Daniel ini disebut sebagai ”dongeng keagamaan yang indah” dalam The Illustrated Bible Dictionary (Jil. 1, hlm. 76).
Satu Makabe. Kisah sejarah tentang perjuangan orang Yahudi demi kemerdekaan pada abad kedua SM, sejak permulaan pemerintahan Antiokhus Epifanes (175 SM) sampai kematian Simon Makabe (± 34 SM). Yang terutama diceritakan ialah tindakan-tindakan heroik imam Matatias dan putra-putranya, yakni Yudas, Yonatan, dan Simon, dalam pertempuran mereka melawan orang Siria.
Di antara karya-karya Apokrifa, buku inilah yang paling bernilai karena keterangan sejarah yang diberikannya tentang masa tersebut. Akan tetapi, sebagaimana dikomentari The Jewish Encyclopedia (1976, Jil. VIII, hlm. 243), di dalam buku ini ”sejarah ditulis berdasarkan sudut pandangan manusia”. Seperti karya-karya Apokrifa yang lain, buku ini bukan bagian dari kanon Ibrani yang terilham, dan agaknya ditulis sekitar akhir abad kedua SM dalam bahasa Ibrani.
Dua Makabe. Meskipun ditempatkan setelah Satu Makabe, kisah ini bercerita tentang masa yang sama (± 180 SM sampai 160 SM) tetapi tidak ditulis oleh pengarang Satu Makabe. Sang penulis menyajikan buku ini sebagai ikhtisar karya-karya sebelumnya yang ditulis oleh seseorang bernama Yason dari Kirene. Buku ini menggambarkan penganiayaan orang Yahudi di bawah pemerintahan Antiokhus Epifanes, penjarahan bait, dan penahbisan kembali bait setelah itu.
Kisah itu menceritakan bahwa pada waktu pembinasaan Yerusalem, Yeremia membawa tabernakel dan tabut perjanjian ke sebuah gua di gunung tempat Musa memandang negeri Kanaan. (2 Makabe 2:1-16) Tentu saja, tabernakel itu telah digantikan oleh bait sekitar 420 tahun sebelumnya.
Berbagai ayatnya digunakan dalam dogma Katolik untuk mendukung doktrin-doktrin seperti penghukuman setelah kematian (2 Makabe 6:26), doa permohonan melalui para santo (15:12-16), dan patutnya mendoakan orang mati (12:41-46, Dy).
Dalam Pengantarnya untuk Buku-Buku Makabe, The Jerusalem Bible mengatakan tentang Dua Makabe, ”Gayanya adalah gaya para penulis helenistik, kendati bukan yang terbaik: kadang-kadang bombastis, dan sering kali berlebih-lebihan.” Penulis Dua Makabe tidak berpura-pura menulis di bawah ilham ilahi dan mengkhususkan sebuah bagian di pasal kedua untuk membenarkan pilihannya akan metode spesifik yang ia gunakan untuk menangani sebuah pokok bahasan. (2 Makabe 2:24-32) Ia mengakhiri karyanya dengan mengatakan, ”Maka aku sendiri pun mau mengakhiri kisah ini. Jika susunannya baik lagi tepat, maka itulah yang kukehendaki. Tetapi jika susunannya hanya sedang-sedang dan setengah-setengah saja, maka hanya itulah yang mungkin bagiku.”—2 Makabe 15:37, 38.
Buku ini tampaknya ditulis antara tahun 134 SM dan kejatuhan Yerusalem pada tahun 70 M dalam bahasa Yunani.
Karya-Karya Apokrifa yang Terkemudian. Khususnya sejak abad kedua M telah berkembang banyak sekali tulisan yang mengaku diilhamkan Allah dan bersifat kanonis serta berpura-pura berkaitan dengan iman Kristen. Tulisan-tulisan ini, yang sering disebut sebagai ”Perjanjian Baru Apokrifa”, berupaya untuk meniru buku-buku Injil, Kisah, surat-surat, dan penyingkapan yang terdapat dalam Kitab-Kitab Yunani Kristen yang kanonis. Sebagian besar di antaranya dikenal hanya melalui fragmen-fragmen yang masih ada atau melalui kutipan-kutipan atau rujukan-rujukan yang dibuat oleh penulis-penulis lain.
Nyatalah bahwa tulisan-tulisan ini mencoba menyediakan informasi yang sengaja tidak dimuat dalam tulisan-tulisan terilham, misalnya berbagai kegiatan dan kejadian sehubungan dengan kehidupan Yesus dari masa kanak-kanaknya hingga saat pembaptisannya, atau berupaya mendukung doktrin atau tradisi yang tidak ada dasarnya dalam Alkitab atau yang bertentangan dengannya. Sebagai contoh, apa yang disebut Injil Masa Kanak-Kanak dari Tomas dan Protevangelium dari Yakobus penuh dengan kisah-kisah khayalan tentang mukjizat-mukjizat yang konon dilakukan oleh Yesus pada masa kanak-kanaknya. Namun, gambaran keseluruhan yang mereka berikan memberikan kesan bahwa Yesus adalah anak yang bertingkah dan uring-uringan dengan karunia kuasa yang luar biasa. (Bandingkan dengan kisah asli di Luk 2:51, 52.) Dalam ”Kisah” Apokrifa, seperti ”Kisah Paulus” dan ”Kisah Petrus”, pantangan total untuk hubungan seks sangat ditandaskan, bahkan digambarkan bahwa para rasul mendesak para wanita untuk berpisah dengan suami mereka, sehingga bertentangan dengan nasihat autentik Paulus di 1 Korintus 7.
Tentang tulisan-tulisan Apokrifa setelah zaman para rasul ini, The Interpreter’s Dictionary of the Bible (Jil. 1, hlm. 166) mengomentari, ”Banyak di antaranya tidak menarik, ada yang sangat berlebihan, ada yang menjijikkan, bahkan memuakkan.” (Diedit oleh G. A. Buttrick, 1962) Funk and Wagnalls New Standard Bible Dictionary (1936, hlm. 56) berkomentar, ”Buku-buku tersebut telah menjadi sumber yang subur bagi legenda-legenda suci dan kisah-kisah gerejawi turun-temurun. Dalam buku-buku inilah kita harus mencari asal usul beberapa dogma Gereja Katolik Roma.”
Sebagaimana tulisan-tulisan Apokrifa yang lebih awal tidak dimasukkan ke dalam Kitab-Kitab Ibrani pra-Kristen yang diakui, tulisan-tulisan Apokrifa yang terkemudian ini pun tidak diakui terilham dan tidak dimasukkan sebagai bagian yang kanonis ke dalam koleksi atau katalog Kitab-Kitab Yunani Kristen yang paling awal.—Lihat KANON.

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar