Senin, 27 Oktober 2014

MATI, KEMATIAN



Berhentinya semua fungsi kehidupan, karena itu, adalah lawan kehidupan. (Ul 30:15, 19) Dalam Alkitab, kata-kata bahasa asli yang sama untuk ”kematian” atau ”hampir mati” berlaku untuk manusia, binatang, dan tanaman. (Pkh 3:19; 9:5; Yoh 12:24; Yud 12; Pny 16:3) Akan tetapi, sehubungan dengan manusia dan binatang, Alkitab memperlihatkan fungsi darah yang sangat penting dalam memelihara kehidupan, dengan menyatakan bahwa ”jiwa makhluk ada di dalam darahnya”. (Im 17:11, 14; Kej 4:8-11; 9:3, 4) Manusia serta binatang dikatakan ’mati’, yaitu ’mengembuskan’ napas kehidupan (Ibr., nis·math′ khai·yim′). (Kej 7:21, 22; bdk. Kej 2:7.) Dan Tulisan-Tulisan Kudus memperlihatkan bahwa kematian pada manusia dan binatang terjadi setelah keluarnya roh (tenaga aktif) kehidupan (Ibr., ru′akh khai·yim′).—Kej 6:17, Rbi8, ctk.; 7:15, 22; Pkh 3:19; lihat ROH.
Dari sudut pandangan Alkitab, apakah kematian itu?
Yang menarik untuk diperhatikan ialah bagaimana penjelasan Alkitab ini selaras dengan apa yang diketahui secara ilmiah mengenai proses kematian. Misalnya, sewaktu jantung berhenti berdenyut pada manusia, darah berhenti mengedarkan makanan dan oksigen (yang diperoleh dengan bernapas) ke miliaran sel-sel tubuh. Akan tetapi, The World Book Encyclopedia (1987, Jil. 5, hlm. 52b) menunjukkan, ”Seseorang yang jantung dan paru-parunya berhenti berfungsi dapat dianggap mati klinis, tetapi mati somatis mungkin belum terjadi. Sel-sel tubuh orang itu masih hidup selama beberapa menit lagi. Orang tersebut bisa dihidupkan kembali apabila jantung dan paru-paru mulai berfungsi lagi dan memberikan kepada sel-sel tubuh oksigen yang dibutuhkannya. Setelah sekitar tiga menit, sel-sel otak—yang paling sensitif terhadap kekurangan oksigen—mulai mati. Orang itu segera mati tanpa kemungkinan dihidupkan kembali. Secara bertahap, sel-sel tubuh lainnya juga mati. Yang terakhir mati adalah sel-sel tulang, rambut, dan kulit, yang dapat bertumbuh terus selama beberapa jam.” Jadi, meskipun pernapasan dan darah memang sangat penting untuk kelangsungan daya kehidupan yang aktif (ru′akh khai·yim′) dalam sel-sel tubuh, pada waktu yang sama juga jelas bahwa kematian diakibatkan bukan saja oleh berhentinya pernapasan atau denyut jantung, melainkan oleh hilangnya daya kehidupan atau roh dari sel-sel tubuh, sebagaimana disebutkan dalam Tulisan-Tulisan Kudus.—Mz 104:29; 146:4; Pkh 8:8.
Penyebab Kematian pada Manusia. Pertama kalinya kematian disebutkan dalam Tulisan-Tulisan Kudus adalah di Kejadian 2:16, 17, sewaktu Allah memberikan perintah kepada pria yang pertama mengenai makan dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, perintah yang jika dilanggar akan berakibat kematian. (Lihat Rbi8, ctk.) Akan tetapi, kematian di antara binatang-binatang sebagai proses alami tampaknya sudah berlangsung, mengingat hal itu sama sekali tidak disinggung sewaktu Alkitab memberi tahu tentang diperkenalkannya kematian ke dalam keluarga manusia. (Bdk. 2Ptr 2:12.) Oleh karena itu, seriusnya peringatan Allah mengenai hukuman mati atas ketidaktaatan dapat dimengerti oleh putra manusia-Nya, Adam. Ketidaktaatan Adam kepada Penciptanya mengakibatkan kematian atas dirinya. (Kej 3:19; Yak 1:14, 15) Setelah itu, dosa Adam dan konsekuensinya, yaitu kematian, menyebar kepada semua orang.—Rm 5:12; 6:23.
Kadang-kadang, ayat-ayat tertentu dikemukakan sebagai bukti dugaan bahwa kematian fisik ditetapkan sebagai akhir yang alami bagi manusia, seperti halnya bagi binatang; misalnya, sebutan bahwa masa hidup manusia itu ’tujuh puluh atau delapan puluh tahun’ (Mz 90:10) dan pernyataan sang rasul bahwa ”manusia disediakan untuk mati sekali untuk selamanya, tetapi setelah itu ada penghakiman”. (Ibr 9:27) Meskipun demikian, semua ayat demikian ditulis setelah kematian diperkenalkan di antara umat manusia, dan diterapkan pada manusia berdosa yang tidak sempurna. Luar biasa panjangnya umur manusia yang hidup sebelum Air Bah setidaknya harus dianggap sebagai cerminan potensi yang menakjubkan dalam tubuh manusia, jauh mengungguli potensi yang terdapat dalam binatang mana pun bahkan di bawah keadaan yang paling ideal. (Kej 5:1-31) Sebagaimana telah diperlihatkan, Alkitab jelas-jelas mengaitkan masuknya kematian ke dalam keluarga manusia dengan dosa Adam.
Karena terasing dari Allah melalui dosa, umat manusia pada umumnya dikatakan berada dalam ”keadaan sebagai budak kefanaan”. (Rm 8:21) Perbudakan ini adalah akibat bekerjanya dosa dalam tubuh mereka, menghasilkan buahnya yang merusak, dan semua orang yang tidak taat kepada Allah berada di bawah kuasa dosa sebagai budaknya ”yang membawa kepada kematian”. (Rm 6:12, 16, 19-21) Setan dinyatakan memiliki ”sarana penyebab kematian”. (Ibr 2:14, 15) Ia disebut ”pembunuh manusia” (Yoh 8:44), bukan karena ia secara langsung membunuh, melainkan karena ia melakukannya dengan tipu daya dan bujukan untuk berdosa, dengan menyebabkan atau mendorong dilakukannya perbuatan salah yang menghasilkan kerusakan dan kematian (2Kor 11:3), dan juga dengan mencetuskan sikap haus darah dalam pikiran dan hati manusia. (Yoh 8:40-44, 59; 13:2; bdk. Yak 3:14-16; 4:1, 2.) Oleh karena itu, kematian digambarkan bukan sebagai sahabat manusia, melainkan sebagai ”musuh” manusia. (1Kor 15:26) Pada umumnya, orang yang ingin sekali mati hanyalah mereka yang menderita rasa sakit yang ekstrem atau yang tak tertanggungkan.—Ayb 3:21, 22; 7:15; Pny 9:6.
Keadaan Orang Mati. Menurut Alkitab, orang mati ”sama sekali tidak sadar akan apa pun” dan kematian adalah keadaan tanpa kegiatan sama sekali. (Pkh 9:5, 10; Mz 146:4) Orang mati digambarkan pergi ke dalam ”debu kematian” (Mz 22:15), menjadi ”tidak berdaya dalam kematian”. (Ams 2:18; Yes 26:14) Dalam kematian, Allah tidak disebut-sebut ataupun dipuji. (Mz 6:5; Yes 38:18, 19) Baik dalam Kitab-Kitab Ibrani maupun Yunani, kematian disamakan dengan tidur; perbandingan ini cocok bukan saja karena orang mati berada dalam keadaan tidak sadar, melainkan juga karena adanya harapan untuk dibangunkan melalui kebangkitan. (Mz 13:3; Yoh 11:11-14) Yesus yang telah dibangkitkan disebut sebagai ”buah sulung dari antara orang-orang yang telah tidur dalam kematian”.—1Kor 15:20, 21; lihat HADES; SYEOL.
Meskipun orang Mesir dan orang lain dari bangsa-bangsa kafir zaman dahulu, dan khususnya para filsuf Yunani, sangat yakin bahwa jiwa manusia itu tidak berkematian, Kitab-Kitab Ibrani maupun Kitab-Kitab Yunani Kristen menyebutkan bahwa jiwa (Ibr., ne′fes; Yn., psy·khe′) dapat mati (Hak 16:30; Yeh 18:4, 20; Pny 16:3), perlu dibebaskan dari kematian (Yos 2:13; Mz 33:19; 56:13; 116:8; Yak 5:20), atau seperti dalam nubuat Mesianik mengenai Yesus Kristus, ’dicurahkan dalam kematian’ (Yes 53:12; bdk. Mat 26:38). Nabi Yehezkiel mengecam orang-orang yang berkomplot untuk ”membunuh jiwa-jiwa yang tidak seharusnya mati” dan ”membiarkan hidup jiwa-jiwa yang tidak seharusnya hidup”.—Yeh 13:19; lihat JIWA.
Itulah sebabnya, sewaktu mengomentari 1 Samuel 25:29, The Interpreter’s Bible (Jil. II, hlm. 1015) menyimpulkan bahwa ”gagasan manusia terdiri atas tubuh dan jiwa yang dipisahkan pada saat kematian tidak berasal dari orang Ibrani tetapi dari orang Yunani”. (Diedit oleh G. Buttrick, 1953) Demikian pula, Edmond Jacob, Profesor Perjanjian Lama di Universitas Strasbourg, mengemukakan bahwa, mengingat dalam Kitab-Kitab Ibrani kehidupan seseorang langsung berkaitan dengan jiwa (Ibr., ne′fes), ”wajar bahwa kematian kadang-kadang digambarkan sebagai lenyapnya ne′fes ini (Kej. 35:18; I Raja-Raja 17:21; Yer. 15:9; Yunus 4:3). ’Perginya’ ne′fes harus dianggap sebagai kiasan, karena ne′fes tidak terus hidup terpisah dari tubuh, tetapi mati bersamanya (Bil. 31:19; Hak. 16:30; Yeh. 13:19). Tidak ada ayat Alkitab yang membenarkan pernyataan bahwa ’jiwa’ dipisahkan dari tubuh pada saat kematian”.—The Interpreter’s Dictionary of the Bible, diedit oleh G. Buttrick, 1962, Jil. 1, hlm. 802.
Penebusan dari Hukuman Kematian. Mazmur 68:20 menyatakan, ”Pada Yehuwa, Tuan Yang Berdaulat, ada jalan keluar dari kematian.” Melalui korban kehidupan manusianya, Kristus Yesus menjadi ”Wakil Utama” Allah untuk kehidupan dan penyelamatan (Kis 3:15; Ibr 2:10), dan melalui dia ditiadakannya kematian dipastikan. (2Tim 1:10) Dengan menderita kematian, Yesus ”mengecap kematian bagi setiap orang” dan menyediakan ”tebusan yang sepadan bagi semua orang”. (Ibr 2:9; 1Tim 2:6) Melalui ”satu tindakan yang menghasilkan pembenaran” di pihak Yesus, pembatalan hukuman kematian akibat dosa kini dimungkinkan, sehingga segala macam orang dapat ”dinyatakan adil-benar untuk kehidupan”. (Rm 5:15, 16, 18, 19; Ibr 9:27, 28; lihat ADIL-BENAR, NYATAKAN; TEBUSAN.) Jadi, mengenai para pengikut Yesus yang sejati, dapat dikatakan bahwa mereka sebenarnya ”telah beralih dari kematian kepada kehidupan”. (Yoh 5:24) Akan tetapi, orang-orang yang tidak menaati sang Putra dan tidak mempraktekkan kasih ”tetap berada dalam kematian” dan di bawah hukuman Allah. (1Yoh 3:14; Yoh 3:36) Orang-orang yang ingin bebas dari hukuman dan bebas dari ”hukum dosa dan hukum kematian” harus dibimbing oleh roh Allah dan menghasilkan buah-buahnya, karena ”memusatkan pikiran pada daging [yang berdosa] berarti kematian”.—Rm 8:1-6; Kol 1:21-23.
Kehidupan Yesus yang berakhir dengan kematian sebagai korban dan kebangkitannya, disamakan olehnya dengan pembaptisan. (Mrk 10:38, 39; Luk 12:50; bdk. Ef 4:9, 10.) Rasul Paulus memperlihatkan bahwa para pengikut Yesus yang terurap juga akan mengalami pembaptisan yang sama ke dalam kematian, yang disusul dengan kebangkitan mereka kepada kemuliaan surgawi. (Rm 6:3-5; Flp 3:10, 11) Sewaktu menyatakan hasratnya yang sungguh-sungguh untuk menerima kehidupan surgawi, Paulus memperlihatkan bahwa yang diinginkan oleh orang-orang Kristen yang diperanakkan roh bukan kematian itu sendiri, juga bukan ”telanjang” dalam kematian, melainkan ”mengenakan” tubuh surgawi agar dapat ”berdiam bersama Tuan”. (2Kor 5:1-8; bdk. 2Ptr 1:13-15.) Sementara itu, kematian ”bekerja” dalam diri mereka, seraya mereka, melalui pelayanan mereka, membawa berita kehidupan kepada orang-orang yang mereka layani.—2Kor 4:10-14; Ams 18:21; lihat BAPTIS, PEMBAPTISAN (Baptisan dalam Kristus Yesus, dalam Kematiannya).
Orang-orang yang mendapat manfaat dari pelayanan itu mencakup kumpulan besar yang memiliki prospek untuk selamat melampaui kesengsaraan besar dan menikmati kehidupan kekal di bumi firdaus. Karena iman mereka akan nilai korban Yesus untuk pendamaian bagi dosa, mereka juga mendapat kedudukan yang bersih di hadapan Allah.—1Yoh 2:2; Pny 7:9, 14.
Yesus mengatakan bahwa ia memiliki ”kunci kematian dan kunci Hades” (Pny 1:18), dan ia menggunakannya untuk membebaskan orang-orang yang ditawan oleh kematian. (Yoh 5:28, 29; Pny 20:13) Dibebaskannya Yesus dari Hades oleh Allah Yehuwa menjadi ”jaminan kepada semua orang” bahwa di masa depan ada hari penghakiman atau perhitungan oleh Allah dan memberikan keyakinan bahwa akan ada kebangkitan bagi orang-orang yang berada dalam Hades. (Kis 17:31; 1Kor 15:20, 21) Orang-orang yang mewarisi Kerajaan Allah dalam peri tidak berkematian digambarkan berkemenangan atas kematian melalui kebangkitan mereka, sehingga ’sengatnya’ dikalahkan.—1Kor 15:50, 54-56; bdk. Hos 13:14; Pny 20:6.
Pembinasaan Kematian. Di Yesaya 25:8 ada janji yang bersifat nubuat bahwa Allah ”akan menelan kematian untuk selama-lamanya, dan Tuan Yang Berdaulat Yehuwa pasti akan menghapus air mata dari semua muka”. Sengat yang menghasilkan kematian adalah dosa (1Kor 15:56), sehingga pada semua orang yang memiliki dosa dan ketidaksempurnaan yang menyertainya, kematian bekerja dalam tubuh mereka. (Rm 7:13, 23, 24) Jadi, agar kematian ditiadakan, hal yang menghasilkan kematian, yaitu dosa, harus ditiadakan. Dengan disingkirkannya bekas-bekas terakhir dosa dari umat manusia yang taat, kuasa kematian akan ditiadakan dan kematian itu sendiri akan dibinasakan, dan hal ini akan terlaksana selama pemerintahan Kristus. (1Kor 15:24-26) Dengan demikian, kematian, yang ditimpakan ke atas keturunan manusia karena pelanggaran Adam, ”tidak akan ada lagi”. (Rm 5:12; Pny 21:3, 4) Secara kiasan, pembinasaan kematian disamakan dengan dicampakkannya kematian ke dalam sebuah ”danau api”.—Pny 20:14; lihat DANAU API.
Kematian Kedua. Di dalam Alkitab, ”danau api”, tempat dicampakkannya kematian, Hades, ”binatang buas” dan ”nabi palsu” simbolis, juga Setan, hantu-hantunya, serta orang-orang yang berkeras dalam kefasikan di bumi, mengartikan ”kematian kedua”. (Pny 20:10, 14, 15; 21:8; Mat 25:41) Pada mulanya, kematian adalah akibat pelanggaran Adam dan diteruskan kepada umat manusia; maka ”kematian kedua” pastilah berbeda dengan kematian warisan ini. Ayat-ayat yang dikutip menunjukkan dengan jelas bahwa tidak mungkin ada pembebasan dari ”kematian kedua”. Keadaan orang-orang dalam ”kematian kedua” sama dengan kesudahan yang diperingatkan dalam ayat-ayat seperti Ibrani 6:4-8; 10:26, 27; dan Matius 12:32. Di pihak lain, orang-orang yang digambarkan memperoleh ”mahkota kehidupan” dan mendapat bagian dalam ”kebangkitan pertama” bebas dari kemungkinan mengalami celaka apa pun akibat kematian kedua itu. (Pny 2:10, 11) Mereka ini, yang bakal memerintah bersama Kristus, menerima peri tidak berkematian (keadaan tanpa kematian) dan ketidakfanaan, sehingga berada di luar ”wewenang” kematian kedua.—1Kor 15:50-54; Pny 20:6; bdk. Yoh 8:51.
Sebagai Ilustrasi. Kematian dipersonifikasikan sebagai ”raja” yang, bersama Raja Dosa (Rm 6:12), memerintah atas umat manusia sejak zaman Adam. (Rm 5:14) Karena itu, raja-raja ini dikatakan memberlakukan ”hukum” mereka atas orang-orang yang tunduk kepada kekuasaan mereka. (Rm 8:2) Dengan kedatangan Kristus dan persediaan tebusan, kebaikan hati yang tidak selayaknya diperoleh mulai menjalankan kuasa sebagai raja yang lebih unggul atas orang-orang yang menerima pemberian Allah, ”dengan tujuan kehidupan abadi”.—Rm 5:15-17, 21.
Meskipun manusia, yang mengabaikan maksud-tujuan Allah, bisa jadi berupaya membuat pakta atau perjanjian mereka sendiri dengan Raja Kematian, upaya itu akan gagal. (Yes 28:15, 18) Seperti penunggang kuda yang berderap di belakang peperangan dan bala kelaparan, kematian digambarkan membawa kematian massal atas penduduk bumi.—Pny 6:8; bdk. Yer 9:21, 22.
Orang-orang yang sakit atau tertekan secara rohani digambarkan ”tiba di gerbang kematian” (Mz 107:17-20; bdk. Ayb 38:17; Mz 9:13), dan mereka yang melewati ”gerbang” demikian memasuki ”rumah pertemuan” kiasan ”untuk setiap orang yang hidup” (Ayb 30:23; bdk. 2Sam 12:21-23), dengan ”kamar-kamar sebelah dalam”-nya (Ams 7:27) dan kapasitas yang tidak akan pernah terisi penuh oleh korban-korban. (Hab 2:5) Orang-orang yang pergi ke Syeol adalah seperti domba yang digembalakan oleh kematian.—Mz 49:14.
”Sengat kematian.” Di Kisah 2:24, rasul Petrus mengatakan bahwa Yesus ’dilepaskan dari sengat kematian, sebab tidak mungkin dia tetap dibelenggu oleh itu’. Kata Yunani (o·din′) yang di ayat itu diterjemahkan menjadi ”sengat”, digunakan di ayat-ayat lain untuk mengartikan rasa nyeri sewaktu persalinan (1Tes 5:3), tetapi dapat juga berarti jerih lelah, rasa sakit, malapetaka, atau kesesakan secara umum. (Mat 24:8) Selain itu, kata tersebut juga digunakan oleh para penerjemah Septuaginta Yunani untuk mengalihbahasakan kata Ibrani khe′vel dalam ayat-ayat yang jelas memaksudkan ”tali”. (2Sam 22:6; Mz 18:4, 5) Kata Ibrani yang terkait berarti ”nyeri bersalin”, sehingga beberapa komentator dan leksikograf menganggap kata Yunani (o·din′) yang digunakan oleh Lukas di Kisah 2:24 juga memiliki makna ganda ini, setidaknya semasa para rasul, yakni zaman Yunani Helenistik. Oleh karena itu, beberapa terjemahan mengalihbahasakan frasa dalam ayat ini menjadi ”pengikat [atau belenggu] kematian”. (NC [bhs. Spanyol]; Segond, Ostervald [bhs. Prancis]) Dalam sejumlah ayat, bahaya kematian digambarkan seakan-akan berupaya menjerat orang yang terancam (Ams 13:14; 14:27) dengan tali-tali yang mengelilinginya dan menurunkannya ke dalam ”keadaan yang menyesakkan dari Syeol”. (Mz 116:3) Meskipun ayat-ayat lain, yang sudah kita bahas, memperlihatkan bahwa tidak ada kesadaran dalam kematian, dan Yesus jelas tidak menderita sakit harfiah apa pun sewaktu mati, kematian digambarkan sebagai pengalaman yang pahit dan menyusahkan (1Sam 15:32; Mz 55:4; Pkh 7:26), bukan hanya karena rasa sakit yang biasanya terjadi sebelumnya (Mz 73:4, 5), melainkan karena hilangnya semua kegiatan dan kebebasan yang direnggut oleh cengkeramannya yang melumpuhkan. Jadi, mungkin dalam arti inilah kebangkitan Yesus ”melepaskan” dia dari ”sengat kematian”, membebaskan dia dari cengkeramannya yang menyesakkan.
Perubahan keadaan atau kondisi rohani. Keadaan mati digunakan untuk mengilustrasikan keadaan mati rohani yang umumnya dialami dunia ini. Itulah sebabnya Yesus dapat berbicara tentang ’orang mati mengubur orang mati’, dan rasul Paulus dapat mengatakan bahwa wanita yang hidup untuk pemuasan sensual ”sudah mati walaupun ia masih hidup”. (Luk 9:60; 1Tim 5:6; Ef 2:1) Dan mengingat kematian fisik membebaskan seseorang dari utang atau kewajiban apa pun yang ia miliki sampai saat itu (Rm 6:7), keadaan seorang Kristen yang dibebaskan atau dimerdekakan dari dosa (Rm 6:2, 11) dan dari kutukan Hukum Musa (Rm 7:2-6) juga disamakan dengan kematian, karena ia telah ”mati” sehubungan dengan keadaan dan kewajibannya yang sebelumnya. Tentu saja, orang yang secara kiasan mati dengan cara itu masih hidup secara fisik dan kini bebas untuk mengikuti Kristus sebagai budak keadilbenaran.—Rm 6:18-20; Gal 5:1.
Digunakannya kematian untuk menggambarkan perubahan keadaan atau kondisi seseorang membantu kita memahami penglihatan-penglihatan yang bersifat nubuat, seperti penglihatan di buku Yehezkiel mengenai umat Allah dalam pembuangan di Babilon yang disamakan dengan tulang-tulang yang mengering dan dengan orang-orang yang mati dan dikuburkan. (Yeh 37:1-12) Tulang-tulang itu akan ”hidup kembali” dan ditempatkan lagi di tanah mereka sendiri. (Yeh 37:13, 14) Ilustrasi-ilustrasi yang mirip terdapat di Penyingkapan 11:3, 7-12 dan Lukas 16:19-31.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar