KERAJAAN ALLAH
Perwujudan dan pelaksanaan kedaulatan universal Allah
atas makhluk-makhluk ciptaan-Nya, atau sarana yang Ia gunakan untuk tujuan
tersebut. (Mz 103:19) Frasa ini khususnya digunakan untuk perwujudan kedaulatan
Allah melalui suatu pemerintahan berbentuk kerajaan yang dikepalai oleh
Putra-Nya, Kristus Yesus.
Kata yang diterjemahkan ”kerajaan” dalam Kitab-Kitab
Yunani Kristen adalah ba·si·lei′a, yang berarti ”sebuah kerajaan,
wilayah, daerah atau negeri yang diperintah oleh seorang raja; kuasa, wewenang,
daerah kekuasaan, pemerintahan seorang raja; kebesaran kerajaan, gelar dan
kehormatan seorang raja”. (The Analytical Greek Lexicon,
1908, hlm. 67) Markus dan Lukas sering kali menggunakan frasa ”kerajaan
Allah”, sedangkan dalam catatan Matius frasa yang paralel, ”kerajaan surga”,
muncul sebanyak kira-kira 30 kali.—Bdk. Mrk 10:23 dan Luk 18:24
dengan Mat 19:23, 24; lihat KERAJAAN; LANGIT DAN SURGA (Surga).
Dalam hal struktur dan fungsinya, pemerintahan Allah
adalah suatu teokrasi sejati (dari Yn. the·os′, allah, dan kra′tos,
pemerintahan), pemerintahan oleh Allah. Istilah ”teokrasi” diakui berasal dari
sejarawan Yahudi bernama Yosefus dari abad pertama M, yang tampaknya
menciptakan istilah ini dalam karyanya Against Apion (II, 164,
165 [17]). Mengenai pemerintahan yang dibentuk atas Israel di Sinai, Yosefus
menulis, ”Beberapa kelompok masyarakat mempercayakan kekuasaan politik
tertingginya kepada monarki, kelompok-kelompok lain kepada oligarki, tetapi ada
pula yang mempercayakannya kepada rakyat. Akan tetapi, pemberi hukum kita tidak
tertarik kepada salah satu pun di antara bentuk-bentuk pemerintahan tersebut,
sebaliknya, kepada negaranya ia memberikan suatu bentuk yang—jika boleh
menggunakan istilah yang dipaksakan—dapat disebut suatu ’teokrasi [Yn., the·o·kra·ti′an]’,
dengan menempatkan semua kedaulatan dan wewenang di tangan Allah.” Tentu saja,
agar menjadi suatu teokrasi sejati, pemerintahan itu tidak mungkin ditetapkan
oleh legislator manusia mana pun, misalnya oleh Musa, tetapi harus ditetapkan
dan dibentuk oleh Allah. Catatan Alkitab memperlihatkan bahwa demikianlah
halnya.
Asal Mula Istilahnya. Istilah ”raja” (Ibr., me′lekh)
tampaknya mulai digunakan dalam bahasa manusia setelah Air Bah seluas dunia.
Kerajaan yang pertama di bumi adalah kerajaan yang diperintah oleh Nimrod,
”pemburu perkasa yang menentang Yehuwa”. (Kej 10:8-12) Setelah itu, sepanjang
periode yang berlangsung sampai zaman Abraham, banyak negara-kota serta bangsa
mulai terbentuk dan raja-raja manusia bertambah jumlahnya. Kecuali kerajaan
yang diperintah oleh Melkhizedek, sang raja-imam Salem (yang menjadi gambaran
nubuat sang Mesias [Kej 14:17-20; Ibr 7:1-17]), tidak ada satu pun kerajaan di
bumi yang mewakili pemerintahan Allah atau dibentuk oleh-Nya. Orang-orang juga
menjadikan allah-allah palsu yang mereka sembah sebagai raja karena mereka
menganggap allah-allah itu memiliki kesanggupan untuk menganugerahi manusia
kekuasaan untuk memerintah. Karena itu, apabila Yehuwa menerapkan gelar ”Raja [Me′lekh]”
pada diri-Nya, seperti yang terdapat dalam tulisan-tulisan pasca-Air Bah di
Kitab-Kitab Ibrani, Allah hanya menggunakan gelar yang telah dibentuk dan
dipakai oleh manusia. Dengan menggunakan istilah ini, Allah memperlihatkan
bahwa Dialah, dan bukan para penguasa manusia yang lancang atau allah-allah buatan
manusia, yang harus dipandang dan ditaati sebagai ”Raja”.—Yer 10:10-12.
Tentu saja, Yehuwa adalah Penguasa Tertinggi jauh sebelum
kerajaan-kerajaan manusia berkembang, malah sebelum manusia ada. Sebagai Allah
yang benar dan Pencipta mereka, Dia direspek dan ditaati oleh putra-putra-Nya,
yaitu para malaikat, yang berjumlah jutaan. (Ayb 38:4-7; 2Taw 18:18; Mz
103:20-22; Dan 7:10) Tidak soal gelar-Nya pada waktu itu, sejak awal penciptaan
Ia diakui sebagai Pribadi yang kehendak-Nya memang paling unggul.
Pemerintahan Allah pada Awal Sejarah Manusia. Manusia
pertama, Adam dan Hawa, juga mengenal Yehuwa sebagai Allah, Pencipta langit dan
bumi. Mereka mengakui wewenang dan hak-Nya untuk memberikan perintah, untuk
meminta orang-orang melakukan tugas tertentu atau tidak melakukan tindakan
tertentu, untuk menentukan negeri yang harus didiami dan digarap, serta untuk
mendelegasikan wewenang atas ciptaan-Nya yang lain. (Kej 1:26-30; 2:15-17) Adam
memiliki kesanggupan untuk menciptakan kata-kata (Kej 2:19, 20), tetapi
tidak ada bukti bahwa ia menciptakan gelar ”raja [me′lekh]” untuk Allah
dan Penciptanya, meskipun ia mengakui wewenang tertinggi Yehuwa.
Sebagaimana disingkapkan dalam pasal-pasal pertama buku
Kejadian, pelaksanaan kedaulatan Allah atas manusia di Eden penuh dengan
kebaikan dan tidak terlalu mengekang. Agar dapat menjalin hubungan dengan
Allah, manusia perlu taat, seperti seorang putra kepada bapaknya.
(Bdk. Luk 3:38.) Manusia tidak perlu memenuhi sederet kaidah hukum yang
sangat panjang (bdk. 1Tim 1:8-11); tuntutan-tuntutan Allah sederhana dan
bertujuan. Selain itu, tidak ada petunjuk bahwa Adam dibuat merasa terkekang
karena setiap tindakannya terus-menerus diawasi dan dikritik; sebaliknya, Allah
berkomunikasi dengan manusia sempurna tersebut, tampaknya secara berkala sesuai
dengan kebutuhan.—Kej psl. 1-3.
Perwujudan baru pemerintahan Allah
ditetapkan. Pelanggaran terhadap perintah Allah, yang secara
terang-terangan dilakukan oleh pasangan manusia pertama atas hasutan salah satu
putra rohani Allah, sebenarnya merupakan pemberontakan terhadap wewenang ilahi.
(Kej 3:17-19; lihat POHON [Sebagai Kiasan].) Sikap yang diambil oleh pribadi
roh yang menjadi Musuh (Ibr., sa·tan′) Allah merupakan tantangan yang
membutuhkan pembuktian, karena menyangkut sengketa keabsahan kedaulatan
universal Yehuwa. (Lihat YEHUWA [Sengketa utama, sengketa moral].) Bumi, tempat
diajukannya sengketa itu, adalah tempat yang cocok untuk menyelesaikannya.—Pny
12:7-12.
Pada waktu menjatuhkan vonis atas para pemberontak
pertama itu, Allah Yehuwa mengucapkan suatu nubuat dengan frasa simbolis, yang
mengumumkan maksud-tujuan-Nya untuk menggunakan suatu sarana, yaitu suatu
’benih’, untuk meremukkan pasukan pemberontak secara tuntas. (Kej 3:15) Dengan
demikian, pemerintahan Yehuwa, yaitu perwujudan kedaulatan-Nya, akan memiliki
aspek atau perwujudan baru sebagai tanggapan atas pemberontakan yang telah
terjadi. Penyingkapan progresif ”rahasia-rahasia suci kerajaan” (Mat 13:11)
memperlihatkan bahwa aspek baru ini menyangkut pembentukan suatu pemerintahan
tambahan (sekunder), yakni badan pemerintahan yang dikepalai oleh seorang wakil
penguasa. Janji mengenai ’benih’ itu terwujud melalui kerajaan Kristus Yesus
dalam persatuan dengan rekan-rekannya yang terpilih. (Pny 17:14; lihat YESUS
KRISTUS [Kedudukannya yang Penting dalam Maksud-Tujuan Allah].) Sejak saat
diucapkannya janji di Eden itu, perkembangan progresif maksud-tujuan Allah
untuk menghasilkan ’benih’ Kerajaan ini menjadi tema utama Alkitab dan kunci
untuk memahami tindakan-tindakan Yehuwa terhadap para hamba-Nya serta terhadap
umat manusia pada umumnya.
Tindakan Allah dalam mendelegasikan wewenang dan
kekuasaan yang sangat besar kepada ciptaan-Nya (Mat 28:18; Pny 2:26, 27;
3:21) dengan cara ini patut mendapat perhatian oleh karena masalah integritas
seluruh ciptaan Allah, yakni pengabdian mereka yang sepenuh hati kepada-Nya dan
loyalitas mereka kepada kekepalaan-Nya, merupakan bagian penting dari sengketa
yang diajukan oleh Musuh Allah. (Lihat INTEGRITAS [Berkaitan dengan sengketa
utama].) Fakta bahwa Allah dapat dengan yakin mempercayakan wewenang dan
kekuasaan yang demikian besar kepada ciptaan-Nya merupakan bukti yang
menakjubkan tentang kekuatan moral pemerintahan-Nya, yang sangat berperan dalam
pembenaran kedaulatan Yehuwa dan penyingkapan kepalsuan dakwaan musuh-Nya.
Kebutuhan akan pemerintahan ilahi
menjadi nyata. Kondisi yang berkembang sejak dimulainya
pemberontakan manusia hingga Air Bah dengan jelas menggambarkan bahwa umat
manusia membutuhkan kepemimpinan Allah. Tidak lama kemudian masyarakat manusia
harus bergumul dengan perpecahan, penyerangan fisik, dan pembunuhan. (Kej
4:2-9, 23, 24) Tidak disingkapkan sampai sejauh mana Adam yang berdosa
itu, selama 930 tahun masa hidupnya, menjalankan wewenang patriarkat atas
keturunannya yang sudah berlipat ganda. Namun, pada generasi ketujuh tampaknya
terdapat ketidaksalehan yang memuakkan (Yud 14, 15), dan pada zaman Nuh
(yang lahir sekitar 120 tahun setelah kematian Adam) kondisinya telah menjadi
begitu bobrok sampai taraf ”bumi penuh dengan kekerasan”. (Kej 6:1-13)
Makhluk-makhluk roh yang menyusup ke dalam masyarakat manusia, bertentangan
dengan kehendak dan maksud-tujuan Allah, turut menghasilkan kondisi buruk
tersebut.—Kej 6:1-4; Yud 6; 2Ptr 2:4, 5; lihat NEFILIM.
Meskipun bumi telah menjadi pusat pemberontakan, Yehuwa
tidak melepaskan kekuasaan-Nya atas bumi. Air Bah seluas dunia adalah bukti
bahwa Allah tetap memiliki kekuasaan dan kesanggupan untuk memberlakukan
kehendak-Nya atas bumi, seperti halnya di bagian mana pun di alam semesta. Pada
masa pra-Air Bah, Ia pun mempertunjukkan kerelaan-Nya untuk membimbing dan
mengatur tindakan orang-orang yang mencari-Nya, seperti Habel, Henokh, dan Nuh.
Kasus Nuh khususnya memberikan gambaran tentang bagaimana Allah menjalankan
kepemimpinan atas orang yang rela menundukkan diri kepada-Nya di bumi, dengan
memberinya perintah serta pengarahan, melindungi dan memberkati dia beserta
keluarganya, dan sekaligus membuktikan bahwa Allah mengendalikan ciptaan lain
di bumi—hewan dan burung. (Kej 6:9–7:16) Yehuwa juga membuat jelas bahwa Ia
tidak akan mengizinkan masyarakat manusia yang acuh tak acuh merusak bumi tanpa
akhir, dan bahwa Ia tidak menahan diri untuk melaksanakan penghakiman yang
adil-benar terhadap para pelaku kesalahan apabila Ia menganggapnya patut.
Selain itu, Ia mempertunjukkan kesanggupan-Nya yang tak terbatas untuk
mengendalikan berbagai unsur di bumi, termasuk atmosfernya.—Kej 6:3, 5-7;
7:17–8:22.
Masyarakat pada awal pasca-Air
Bah dan problem-problemnya. Setelah Air Bah,
penyelenggaraan patriarkat tampaknya menjadi struktur dasar masyarakat, yang
menghasilkan stabilitas dan ketertiban hingga taraf tertentu. Umat manusia
harus ’memenuhi bumi’, yang tidak hanya mengharuskan mereka beranak cucu tetapi
juga terus memperluas wilayah tempat tinggal manusia ke seluruh bola bumi. (Kej
9:1, 7) Masuk akal bahwa faktor-faktor itu sendiri akan mengurangi masalah
sosial apa pun karena masalah-masalah umumnya akan terbatas dalam ruang lingkup
keluarga saja sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya gesekan yang sering
kali berkembang dalam lingkungan yang padat penduduknya. Namun, proyek di Babel
yang tidak sah menuntut tindakan yang bertolak belakang, yaitu
mengkonsentrasikan massa, agar manusia tidak ”terpencar ke seluruh permukaan
bumi”. (Kej 11:1-4; lihat BAHASA.) Lagi pula, Nimrod telah meninggalkan
pengaturan patriarkat dan mendirikan ”kerajaan” (Ibr., mam·la·khah′)
yang pertama. Sebagai orang Kus melalui garis keturunan Ham, ia telah melanggar
batas wilayah keturunan Sem, tanah Assyur (Asiria), dan membangun kota-kota di
sana sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya.—Kej 10:8-12.
Allah membuyarkan konsentrasi massa di Dataran Syinar itu
dengan mengacaukan bahasa manusia, tetapi pola pemerintahan yang diprakarsai Nimrod
pada umumnya diikuti di negeri-negeri tempat berbagai keluarga umat manusia
bermigrasi. Pada zaman Abraham (2018-1843 SM), kerajaan-kerajaan
bermunculan mulai dari Mesopotamia-Asia sampai ke Mesir, negeri yang memberi
raja mereka gelar ”Firaun” dan bukan Me′lekh. Tetapi pemerintahan di
bawah seorang raja tidak mendatangkan keamanan. Raja-raja segera membentuk
aliansi militer, melancarkan kampanye berupa agresi, penjarahan, dan penculikan
ke tempat-tempat yang jauh. (Kej 14:1-12) Di beberapa kota, orang-orang asing
menjadi sasaran serangan para pelaku homoseks.—Kej 19:4-9.
Oleh karena itu, meskipun orang-orang pasti berkumpul
dalam komunitas yang padat untuk mendapatkan keamanan (bdk. Kej 4:14-17),
mereka segera merasa perlu melindungi kota mereka dengan tembok dan akhirnya
membentenginya terhadap serangan bersenjata. Catatan-catatan sekuler paling
awal yang dikenal, yang banyak di antaranya berasal dari wilayah Mesopotamia
tempat kerajaan Nimrod pada mulanya berkuasa, sarat dengan kisah-kisah tentang
konflik, ketamakan, intrik, dan pertumpahan darah manusia. Dokumen-dokumen
hukum non-Alkitab yang paling kuno yang telah ditemukan, misalnya dari
Lipit-Istar, Esnunna, dan Hammurabi, memperlihatkan bahwa kehidupan manusia
telah menjadi sangat kompleks, dengan gesekan sosial yang menimbulkan masalah
pencurian, penipuan, kesulitan dalam bisnis, pertikaian tentang properti dan
pembayaran sewa, persoalan mengenai pinjaman dan bunga, perselingkuhan dalam
pernikahan, biaya pengobatan dan kegagalan pengobatan, kasus-kasus penyerangan
dan pemukulan, dan banyak masalah lainnya. Meskipun Hammurabi menyebut dirinya
”raja yang efisien” dan ”raja yang sempurna”, pemerintahan dan
undang-undangnya, sama seperti kerajaan-kerajaan politis lainnya pada zaman
dahulu, tidak sanggup mengatasi problem-problem umat manusia yang berdosa. (Ancient
Near Eastern Texts, diedit oleh J. B. Pritchard,
1974, hlm. 159-180; bdk. Ams 28:5.) Di semua kerajaan ini agama, tetapi
bukan ibadat kepada Allah yang benar, menonjol. Walaupun imam-imam bekerja sama
secara erat dengan golongan penguasa dan mendapat perkenan raja, hal itu tidak
memperbaiki moral rakyatnya. Inskripsi-inskripsi keagamaan kuno berhuruf paku
tidak berisi bimbingan moral ataupun sesuatu yang dapat memperbaiki keadaan
rohani , tetapi justru memperlihatkan bahwa dewa-dewi yang disembah suka
bertengkar, bengis, penuh hawa nafsu, dan tidak dikendalikan oleh standar atau
tujuan yang adil-benar. Manusia membutuhkan kerajaan Allah Yehuwa apabila
mereka ingin menikmati kehidupan yang damai dan bahagia.
Sehubungan dengan Abraham dan Keturunannya. Memang,
individu-individu yang berpaling kepada Allah Yehuwa sebagai Kepala mereka
tidak bebas dari masalah dan perselisihan pribadi. Namun, mereka dibantu untuk
mengatasi masalah-masalah itu atau bertekun menghadapinya dengan cara yang
selaras dengan standar-standar Allah yang adil-benar, tanpa menjadi bejat.
Mereka diberi perlindungan dan kekuatan ilahi. (Kej 13:5-11; 14:18-24;
19:15-24; 21:9-13, 22-33) Oleh karena itu, setelah menunjukkan bahwa ’keputusan
hukum Yehuwa berlaku di seluruh bumi’, sang pemazmur mengatakan tentang
Abraham, Ishak, dan Yakub, ”Jumlah mereka masih sedikit, ya, sangat sedikit,
dan sebagai penduduk asing di [Kanaan]. Dan mereka terus mengembara dari bangsa
ke bangsa, dari satu kerajaan ke suku bangsa lainnya. [Yehuwa] tidak membiarkan
seorang manusia pun mencurangi mereka, tetapi demi kepentingan mereka, ia
menegur raja-raja, dengan berfirman, ’Jangan menjamah orang-orang yang kuurapi,
dan kepada nabi-nabiku jangan melakukan yang jahat.’” (Mz 105:7-15;
bdk. Kej 12:10-20; 20:1-18; 31:22-24, 36-55.) Hal ini pun merupakan bukti
bahwa Allah masih berdaulat atas bumi, dan Ia melaksanakan hal itu selaras
dengan perkembangan maksud-tujuan-Nya.
Para patriark yang setia tidak mengikatkan diri kepada
negara-kota atau kerajaan mana pun di Kanaan atau negeri-negeri lain.
Sebaliknya dari mencari keamanan di suatu kota di bawah pemerintahan politik
raja manusia, mereka tinggal di kemah-kemah sebagai ”orang-orang asing dan
penduduk sementara di negeri itu”, dan dengan iman ”menantikan kota yang
mempunyai fondasi yang tetap, kota yang dibangun dan dibuat oleh Allah”. Mereka
menerima Allah sebagai Penguasa mereka, menantikan penyelenggaraan, atau
sarana, surgawi-Nya di masa depan untuk memerintah bumi, yang secara kokoh
didasarkan pada wewenang dan kehendak-Nya yang absolut, sekalipun pada waktu
itu perwujudan harapan ini masih ’jauh’. (Ibr 11:8-10, 13-16) Itulah sebabnya
Yesus, yang sudah diurapi Allah untuk menjadi raja, belakangan dapat mengatakan,
”Abraham . . . sangat bersukacita dengan prospek akan melihat hariku,
dan ia melihatnya dan bersukacita.”—Yoh 8:56.
Dalam perkembangan janji-Nya tentang ’benih’ (Kej 3:15)
Kerajaan ini, Yehuwa maju selangkah lagi dengan menetapkan suatu perjanjian dengan
Abraham. (Kej 12:1-3; 22:15-18) Berkaitan dengan hal itu, Ia menubuatkan bahwa
”raja-raja akan muncul” dari Abraham (Abram) dan istrinya. (Kej 17:1-6,
15, 16) Walaupun keturunan Esau, cucu Abraham, membentuk pemerintahan di
bawah para syekh dan para raja, janji Allah yang bersifat nubuat mengenai
dinasti raja diulangi kepada Yakub, cucu Abraham yang lain.—Kej 35:11, 12;
36:9, 15-43.
Pembentukan bangsa Israel.
Berabad-abad kemudian, pada waktu yang ditetapkan (Kej 15:13-16), Allah Yehuwa
bertindak demi kepentingan keturunan Yakub, yang saat itu telah berjumlah
jutaan orang (lihat EKSODUS [Jumlah Orang yang Ikut dalam Eksodus]), dengan
melindungi mereka selama suatu kampanye genosida oleh pemerintah Mesir (Kel
1:15-22) dan akhirnya membebaskan mereka dari perbudakan yang kejam di bawah
rezim Mesir. (Kel 2:23-25) Perintah Allah kepada Firaun, yang disampaikan
melalui para wakil-Nya, Musa dan Harun, ditolak dengan hina oleh penguasa Mesir
karena dianggap berasal dari sumber yang tidak mempunyai wewenang atas segala
urusan Mesir. Karena Firaun berulang kali tidak mau mengakui kedaulatan-Nya,
Yehuwa mempertunjukkan kuasa-Nya dalam bentuk tulah-tulah. (Kel 7 sampai 12)
Dengan demikian, Allah membuktikan bahwa kekuasaan-Nya atas semua elemen dan
makhluk di bumi mengungguli kekuasaan raja mana pun di seluruh bumi. (Kel
9:13-16) Pertunjukan kuasa-Nya yang tertinggi mencapai klimaksnya ketika Ia
menghancurkan pasukan Firaun dengan cara yang tidak pernah dapat ditiru oleh
para raja-pejuang yang sombong mana pun dari bangsa-bangsa. (Kel 14:26-31)
Dengan alasan yang kuat, Musa dan orang Israel bernyanyi, ”Yehuwa akan
memerintah sebagai raja sampai waktu yang tidak tertentu, bahkan
selama-lamanya.”—Kel 15:1-19.
Setelah itu, Yehuwa memberikan bukti lain lagi tentang
kekuasaan-Nya atas bumi, sumber airnya yang vital, serta kehidupan
burung-burung, dan Ia memperlihatkan kesanggupan-Nya untuk menjaga dan
memelihara bangsa-Nya bahkan di lingkungan yang kering dan tidak bersahabat.
(Kel 15:22–17:15) Setelah melaksanakan semuanya itu, Ia berbicara kepada bangsa
yang baru dibebaskan ini, dengan memberi tahu mereka bahwa, apabila mereka
menaati wewenang dan perjanjian-Nya, mereka dapat menjadi milik-Nya yang
istimewa di antara semua bangsa lain, ”karena seluruh bumi adalah milikku”. Mereka
dapat menjadi ”suatu kerajaan imam dan suatu bangsa yang kudus”. (Kel 19:3-6)
Ketika mereka menyatakan di hadapan umum bahwa mereka rela tunduk kepada
kedaulatan-Nya, Yehuwa bertindak sebagai Legislator-Raja dengan memberi mereka
ketetapan-ketetapan kerajaan berupa seperangkat hukum yang ekstensif, disertai
bukti yang dinamis dan membangkitkan rasa takjub tentang kuasa serta
kemuliaan-Nya. (Kel 19:7–24:18) Sebuah tabernakel atau kemah pertemuan, dan
khususnya tabut perjanjian, menjadi petunjuk kehadiran Kepala Negara surgawi
yang tidak kelihatan ini. (Kel 25:8, 21, 22; 33:7-11; bdk. Pny 21:3.)
Walaupun Musa dan pria-pria terlantik lainnya menghakimi sebagian besar kasus,
dengan bimbingan hukum Allah, Yehuwa adakalanya secara langsung turun tangan
untuk menyatakan penghakiman dan menjatuhkan sanksi terhadap para pelanggar
hukum. (Kel 18:13-16, 24-26; 32:25-35) Imam-imam yang terlantik memelihara
hubungan baik antara bangsa itu dan Penguasa surgawinya, menolong bangsa ini
dalam upaya mereka untuk menyelaraskan diri dengan standar-standar yang tinggi
dari perjanjian Hukum. (Lihat IMAM.) Jadi, pemerintahan atas Israel adalah
teokrasi sejati.—Ul 33:2, 5.
Sebagai Allah dan Pencipta, yang memiliki hak ”eminent
domain” (yaitu pengambilan tanah atau milik pribadi untuk kepentingan
umum) atas seluruh bumi, dan juga sebagai ”Hakim segenap bumi” (Kej 18:25),
Yehuwa telah menetapkan tanah Kanaan bagi benih Abraham. (Kej 12:5-7; 15:17-21)
Sebagai Eksekutif Utama, Ia kini memerintahkan orang Israel untuk secara paksa
mengambil alih daerah yang dikuasai orang Kanaan yang terkutuk, dan juga untuk
melaksanakan hukuman mati yang Ia jatuhkan atas mereka.—Ul 9:1-5; lihat KANAAN
No. 2 (Penaklukan Kanaan oleh Israel).
Zaman Hakim-Hakim. Selama tiga setengah
abad setelah Israel menaklukkan banyak kerajaan di Kanaan, Allah Yehuwa adalah
satu-satunya raja bagi bangsa itu. Selama periode yang berbeda-beda, para
Hakim, yang dipilih Allah, memimpin bangsa itu atau sebagian darinya dalam
pertempuran dan pada masa damai. Setelah Hakim Gideon mengalahkan Midian,
rakyat pada umumnya memohon agar ia menjadi penguasa atas mereka, tetapi ia
menolak karena mengakui bahwa Yehuwa-lah penguasa yang sebenarnya. (Hak
8:22, 23) Abimelekh, putranya yang ambisius, untuk waktu yang singkat
menjadi raja atas sebagian kecil bangsa itu, tetapi kerajaannya berakhir dalam
bencana yang menimpa dirinya.—Hak 9:1, 6, 22, 53-56.
Mengenai zaman Hakim-Hakim secara umum, dapat dikatakan,
”Pada zaman itu tidak ada raja di Israel. Setiap orang biasa melakukan apa yang
benar di matanya sendiri.” (Hak 17:6; 21:25) Hal itu tidak menyiratkan tidak
adanya pembatasan secara hukum. Setiap kota memiliki hakim-hakim, para tua-tua,
untuk menangani pertanyaan dan masalah hukum serta menjalankan keadilan. (Ul
16:18-20; lihat PENGADILAN.) Keimaman Lewi berfungsi sebagai badan pembimbing
tinggi yang mendidik dan membimbing bangsa itu menurut hukum Allah, karena imam
besar menggunakan Urim dan Tumim untuk meminta nasihat kepada Allah dalam
masalah-masalah yang sukar. (Lihat IMAM; IMAM BESAR; URIM DAN TUMIM.) Jadi,
orang yang memanfaatkan persediaan-persediaan ini, yang mendapatkan pengetahuan
tentang hukum Allah dan menerapkannya, memperoleh bimbingan yang sehat bagi
hati nuraninya. Tindakannya melakukan ”apa yang benar di matanya sendiri” dalam
hal ini tidak akan berakibat buruk. Yehuwa mengizinkan bangsa itu
untuk memperlihatkan sikap dan haluan kerelaan atau ketidakrelaan. Tidak ada
raja manusia atas bangsa itu yang mengawasi pekerjaan para hakim kota atau
memerintahkan warganya untuk mengerjakan proyek-proyek khusus atau mengerahkan
mereka untuk pertahanan bangsa. (Bdk. Hak 5:1-18.) Karena itu,
kondisi-kondisi buruk yang timbul disebabkan mayoritas orang tidak mau
mengindahkan firman dan hukum Raja surgawi mereka dan tidak memanfaatkan semua
persediaan-Nya.—Hak 2:11-23.
Permintaan akan Seorang Raja Manusia. Hampir 400 tahun
sejak Eksodus dan lebih dari 800 tahun sejak Allah membuat perjanjian dengan
Abraham, orang Israel meminta seorang raja manusia untuk memimpin mereka, sama
seperti bangsa-bangsa lain. Dengan permintaan itu, mereka menolak Yehuwa
sebagai raja atas mereka. (1Sam 8:4-8) Memang, bangsa itu pantas mengharapkan
agar Allah mendirikan sebuah kerajaan selaras dengan janji-Nya kepada Abraham
dan Yakub, sebagaimana dikutip sebelumnya. Harapan mereka juga didasarkan pada
nubuat yang diucapkan Yakub sebelum meninggal mengenai Yehuda (Kej 49:8-10),
pada firman Yehuwa kepada Israel setelah Eksodus (Kel 19:3-6), pada
syarat-syarat perjanjian Hukum (Ul 17:14, 15), dan bahkan pada sebagian
dari pesan yang disampaikan nabi Bileam atas perintah Allah (Bil
24:2-7, 17). Hana, wanita setia yang adalah ibu Samuel, mengungkapkan
harapan ini dalam doanya. (1Sam 2:7-10) Meskipun demikian, Yehuwa belum
sepenuhnya menyingkapkan ”rahasia suci”-Nya tentang Kerajaan dan belum
menyatakan tibanya waktu yang Ia tetapkan untuk mendirikan kerajaan tersebut,
dan juga bagaimana struktur dan susunan pemerintahan itu kelak—apakah di bumi
atau di surga. Oleh karenanya, bangsa ini telah bertindak lancang dengan
menuntut seorang raja manusia pada saat itu.
Tampaknya, ancaman agresi orang Filistin dan Ammon turut
menyebabkan orang Israel menginginkan seorang raja yang kelihatan sebagai
komandan utama. Jadi, mereka kurang beriman akan kesanggupan Allah untuk
melindungi, membimbing, dan memenuhi kebutuhan mereka, sebagai bangsa ataupun
secara perorangan. (1Sam 8:4-8) Motif bangsa ini salah; tetapi Allah Yehuwa
mengabulkan permintaan mereka, terutama bukan demi kepentingan mereka melainkan
demi memenuhi maksud-tujuan-Nya sendiri yang baik untuk secara progresif menyingkapkan
”rahasia suci” Kerajaan-Nya yang akan datang melalui sang ’benih’. Namun,
seorang raja manusia akan mendatangkan problemnya sendiri serta menuntut
pengorbanan di pihak Israel, dan Yehuwa memaparkan fakta-fakta tersebut di
hadapan bangsa ini.—1Sam 8:9-22.
Raja-raja yang dilantik Yehuwa setelah itu harus melayani
sebagai wakil-wakil Allah di bumi, tanpa sedikit pun mengurangi kedaulatan
Yehuwa atas bangsa ini. Sebenarnya, takhta Yehuwa-lah yang mereka duduki, dan
mereka adalah wakil raja. (1Taw 29:23) Yehuwa memerintahkan pengurapan raja
yang pertama, Saul (1Sam 9:15-17), dan pada waktu yang sama menyingkapkan
kurangnya iman bangsa ini.—1Sam 10:17-25.
Baik raja maupun rakyatnya kini harus merespek wewenang
Allah agar pemerintahan tersebut mendatangkan manfaat. Jika mereka secara tidak
realistis berpaling kepada sumber-sumber lain untuk mendapatkan bimbingan
dan perlindungan, mereka dan raja mereka akan dilenyapkan. (Ul 28:36; 1Sam
12:13-15, 20-25) Raja tidak boleh mengandalkan kekuatan militer, mempunyai
banyak istri, dan dikuasai oleh nafsu akan kekayaan. Pemerintahannya harus
sepenuhnya dijalankan dalam kerangka perjanjian Hukum. Ia diperintahkan oleh
Allah untuk membuat salinan Hukum bagi dirinya dan membacanya setiap hari, agar
ia senantiasa memiliki rasa takut yang sepatutnya kepada Wewenang Tertinggi,
tetap rendah hati, dan mempertahankan haluan yang adil-benar. (Ul 17:16-20)
Apabila ia menjalankan itu semua, mengasihi Allah dengan segenap hati dan
mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri, pemerintahannya akan mendatangkan
banyak berkat, tanpa ada alasan yang nyata untuk mengeluh akibat penindasan
ataupun penderitaan. Namun, seperti halnya terhadap rakyatnya, demikian pula
terhadap raja-raja mereka, Yehuwa membiarkan para penguasa ini mempertunjukkan
isi hati mereka, apakah mereka rela atau tidak rela mengakui wewenang dan
kehendak Allah.
Pemerintahan Daud yang Patut Diteladani. Karena Saul,
orang Benyamin itu, menghina wewenang yang lebih tinggi dan penyelenggaraan
Pribadi ”Yang Mulia dari Israel”, ia kehilangan perkenan Allah dan sebagai
akibatnya, keturunannya tidak lagi menduduki takhta. (1Sam 13:10-14; 15:17-29;
1Taw 10:13, 14) Dengan memerintahnya pengganti Saul, Daud dari Yehuda,
nubuat yang diucapkan Yakub sebelum meninggal mengalami penggenapan lebih jauh.
(Kej 49:8-10) Meskipun Daud melakukan kesalahan-kesalahan akibat
ketidaksempurnaan manusia, pemerintahannya patut diteladani karena ia dengan
sepenuh hati mengabdi kepada Allah Yehuwa dan dengan rendah hati tunduk kepada
wewenang ilahi. (Mz 51:1-4; 1Sam 24:10-14; bdk. 1Raj 11:4;
15:11, 14.) Pada waktu menerima sumbangan bagi pembangunan bait, Daud
berdoa kepada Allah di hadapan rakyat yang berkumpul, demikian, ”Milikmulah,
oh, Yehuwa, kebesaran, keperkasaan, keindahan, keunggulan, dan kehormatan;
sebab segala sesuatu di surga dan di bumi adalah milikmu. Milikmulah kerajaan,
oh, Yehuwa, Pribadi yang juga meninggikan dirimu sebagai kepala atas semua.
Kekayaan dan kemuliaan berasal dari engkau, dan engkau menguasai segala
sesuatu; di tanganmulah kuasa dan keperkasaan, dan di tanganmulah kesanggupan
untuk membuat besar dan untuk memberikan kekuatan bagi semua. Maka sekarang,
oh, Allah kami, kami bersyukur kepadamu dan memuji namamu yang indah.” (1Taw
29:10-13) Nasihat terakhirnya kepada Salomo, putranya, juga menggambarkan sudut
pandangan Daud yang benar tentang hubungan antara kekuasaan sebagai raja di
bumi dan Sumber ilahi kekuasaan tersebut.—1Raj 2:1-4.
Pada waktu tabut perjanjian, yang ada kaitannya dengan
kehadiran Yehuwa, dibawa ke ibu kota, Yerusalem, Daud bernyanyi, ”Biarlah
langit bersukacita, dan biarlah bumi bergembira, dan biarlah mereka mengatakan
di antara bangsa-bangsa, ’Yehuwa telah menjadi raja!’” (1Taw 16:1, 7, 23-31)
Hal itu memperlihatkan fakta bahwa, sekalipun pemerintahan Yehuwa telah
berlangsung sejak awal penciptaan, Ia dapat secara spesifik menetapkan
perwujudan pemerintahan-Nya atau menetapkan sarana tertentu untuk mewakili
diri-Nya sehingga Ia dapat disebut ”menjadi raja” pada suatu masa atau kesempatan
tertentu.
Perjanjian untuk suatu kerajaan.
Yehuwa membuat perjanjian dengan Daud untuk suatu kerajaan yang akan kokoh
selama-lamanya dalam garis keturunan keluarganya, dengan mengatakan, ”Aku pasti
akan membangkitkan benihmu setelah engkau, . . . dan aku akan
menetapkan kerajaannya dengan kokoh. . . . Keturunanmu dan kerajaanmu
pasti akan kokoh sampai waktu yang tidak tertentu di hadapanmu; takhtamu pun
akan menjadi takhta yang ditetapkan dengan kokoh sampai waktu yang tidak
tertentu.” (2Sam 7:12-16; 1Taw 17:11-14) Perjanjian ini, yang berlaku atas
dinasti Daud, memberikan bukti lebih jauh tentang pelaksanaan janji Allah di
Eden berkenaan dengan Kerajaan-Nya melalui ’benih’ (Kej 3:15) yang dinubuatkan
dan merupakan sarana tambahan untuk mengidentifikasi ’benih’ itu apabila ia
datang kelak. (Bdk. Yes 9:6, 7; 1Ptr 1:11.) Raja-raja yang ditetapkan
Allah diurapi untuk jabatan mereka, karena itu, kata ”mesias”, yang berarti
”orang yang diurapi”, berlaku atas mereka. (1Sam 16:1; Mz 132:13, 17) Jadi,
jelaslah bahwa kerajaan Yehuwa di bumi yang didirikan atas Israel menjadi
gambaran kecil-kecilan untuk Kerajaan yang akan datang melalui sang Mesias,
Yesus Kristus, ”putra Daud”.—Mat 1:1.
Kemerosotan dan Kejatuhan Kerajaan-Kerajaan Israel.
Karena tidak berpaut kepada jalan-jalan Yehuwa yang adil-benar, kondisi pada
akhir tiga pemerintahan saja dan pada awal pemerintahan yang keempat menjadi
begitu tidak memuaskan sehingga memicu pemberontakan dan perpecahan dalam
bangsa Israel (997 SM). Hasilnya ialah kerajaan utara dan kerajaan
selatan. Namun demikian, perjanjian Yehuwa dengan Daud tetap berlaku atas
raja-raja kerajaan Yehuda di selatan. Selama berabad-abad, raja yang setia
langka di Yehuda, dan sama sekali tidak ada di kerajaan Israel di utara.
Sejarah kerajaan utara diwarnai dengan penyembahan berhala, intrik, pembunuhan,
dan raja-raja yang sering kali berganti secara cepat. Rakyat menderita
ketidakadilan dan penindasan. Kira-kira 250 tahun sejak berdirinya kerajaan
utara, Yehuwa mengizinkan raja Asiria meremukkan kerajaan itu (740 SM)
karena pemberontakannya melawan Allah.—Hos 4:1, 2; Am 2:6-8.
Meskipun kerajaan Yehuda lebih stabil karena diperintah
oleh dinasti Daud, pada akhirnya kerajaan selatan menjadi lebih bejat moralnya
daripada kerajaan utara, kendati raja-raja yang takut akan Allah, seperti
Hizkia dan Yosia, mengerahkan upaya agar bangsa itu tidak semakin terpuruk ke
dalam penyembahan berhala dan penolakan firman serta wewenang Yehuwa. (Yes
1:1-4; Yeh 23:1-4, 11) Ketidakadilan sosial, kelaliman, ketamakan, ketidakjujuran,
suap, penyimpangan seks, serangan kriminal, dan pertumpahan darah, serta
kemunafikan agama yang mengubah bait Allah menjadi ”gua perampok”—semuanya
dicela oleh nabi-nabi Yehuwa melalui pesan-pesan peringatan yang mereka
sampaikan kepada para penguasa dan bangsa ini. (Yes 1:15-17, 21-23;
3:14, 15; Yer 5:1, 2, 7, 8, 26-28, 31; 6:6, 7; 7:8-11) Dukungan
imam-imam yang murtad maupun aliansi politik dengan bangsa-bangsa lain tidak
dapat mencegah kehancuran yang akan menimpa kerajaan yang tidak setia ini. (Yer
6:13-15; 37:7-10) Ibu kotanya, Yerusalem, dimusnahkan dan Yehuda ditelantarkan
oleh orang Babilonia pada tahun 607 SM.—2Raj 25:1-26.
Kedudukan Yehuwa sebagai raja
tetap tidak ternoda. Kebinasaan kerajaan Israel dan
kerajaan Yehuda sama sekali tidak mencerminkan mutu pemerintahan Allah Yehuwa
dan sama sekali tidak menunjukkan adanya kelemahan di pihak-Nya. Sepanjang
sejarah bangsa Israel, Yehuwa nyata-nyata berminat akan pelayanan dan ketaatan
yang diberikan dengan kerelaan. (Ul 10:12-21; 30:6, 15-20;
Yes 1:18-20; Yeh 18:25-32) Ia mengajar, menegur, mendisiplin, memperingatkan,
dan menghukum. Tetapi Ia tidak menggunakan kuasa-Nya untuk memaksa raja ataupun
rakyat agar mengikuti haluan yang adil-benar. Kondisi buruk yang berkembang,
penderitaan yang mereka alami, malapetaka yang menimpa mereka, semuanya adalah
akibat ulah mereka sendiri, karena mereka terus mengeraskan hati dan berkukuh
mengikuti haluan independen yang dengan bodoh mereka tempuh sehingga merugikan
kepentingan mereka sendiri.—Rat 1:8, 9; Neh 9:26-31, 34-37; Yes 1:2-7; Yer
8:5-9; Hos 7:10, 11.
Yehuwa mempertunjukkan kuasa-Nya yang Tertinggi dengan
menahan Asiria dan Babilon yang agresif dan rakus sampai waktu yang Ia
tetapkan, bahkan memanuver mereka sehingga tindakan mereka menggenapi nubuat-nubuat-Nya.
(Yeh 21:18-23; Yes 10:5-7) Ketika Yehuwa pada akhirnya menarik perlindungan-Nya
dari bangsa Israel, hal itu adalah pernyataan penghakiman-Nya yang adil-benar
sebagai Penguasa Tertinggi. (Yer 35:17) Kehancuran Israel dan Yehuda tidak mengejutkan
hamba-hamba Allah yang taat, yang sebelumnya sudah diperingatkan melalui
nubuat-nubuat-Nya. ’Semarak keunggulan Yehuwa’ ditinggikan dengan
direndahkannya para penguasa yang angkuh itu. (Yes 2:1, 10-17) Akan tetapi,
yang lebih penting daripada semuanya itu, sebagai Raja mereka, Ia telah
mempertunjukkan kesanggupan-Nya untuk melindungi dan memelihara
individu-individu yang berpaling kepada-Nya, sekalipun mereka mengalami
kelaparan, ditimpa penyakit, dan diancam pembantaian besar-besaran, serta ketika
mereka dianiaya oleh orang-orang yang membenci keadilbenaran.—Yer 34:17-21;
20:10, 11; 35:18, 19; 36:26; 37:18-21; 38:7-13; 39:11–40:5.
Raja terakhir Israel diperingatkan bahwa mahkotanya, yang
melambangkan kekuasaan sebagai raja yang diurapi untuk menjadi wakil kerajaan
Yehuwa, akan disingkirkan. Lalu kerajaan dinasti Daud yang terurap tidak akan
memerintah lagi ”sampai kedatangan dia yang memiliki hak yang sah, dan aku
[Yehuwa] akan memberikannya kepada dia”. (Yeh 21:25-27) Jadi, kerajaan
simbolis, yang pada saat itu telah menjadi puing-puing, tidak lagi berfungsi,
dan perhatian sekali lagi diarahkan ke masa depan, kepada ’benih’ yang akan
datang, sang Mesias.
Bangsa-bangsa politis, seperti Asiria dan Babilon,
menghancurkan kerajaan Israel dan kerajaan Yehuda yang murtad. Meskipun Allah
menyatakan bahwa Dialah yang ”membangkitkan” atau ”mendatangkan” bangsa-bangsa
tersebut untuk melawan kerajaan-kerajaan yang terkutuk itu (Ul 28:49; Yer 5:15;
25:8, 9; Yeh 7:24; Am 6:14), tampaknya makna hal itu sama dengan ketika
Allah ’mengeraskan’ hati Firaun. (Lihat TAHU SEBELUMNYA; TETAPKAN SEBELUMNYA
[Mengenai Individu-Individu].) Artinya, Allah ”mendatangkan” pasukan-pasukan
penyerang dengan membiarkan mereka melaksanakan keinginan yang sudah ada dalam
hati mereka (Yes 10:7; Rat 2:16; Mi 4:11), dan menyingkirkan ”tangan”
perlindungan-Nya dari sasaran ketamakan mereka yang ambisius. (Ul
31:17, 18; bdk. Ezr 8:31 dengan Ezr 5:12; Neh 9:28-31; Yer 34:2.)
Karena dengan keras kepala menolak untuk tunduk kepada hukum dan kehendak
Yehuwa, orang-orang Israel yang murtad pun diberi ’kebebasan kepada pedang,
sampar, dan bala kelaparan’. (Yer 34:17) Namun, bangsa-bangsa kafir yang
melancarkan serangan tersebut tidak dengan sendirinya diperkenan Allah, dan
mereka juga tidak memiliki ’tangan yang tahir’ di hadapan-Nya sewaktu mereka
dengan kejam membinasakan kerajaan utara dan kerajaan selatan, ibu kota
Yerusalem beserta bait sucinya. Maka Yehuwa, Hakim atas seluruh bumi, berhak
mengecam mereka karena mereka telah ’menjarah milik pusaka-Nya’ dan dapat
menghukum mereka sehingga mengalami kehancuran yang sama yang telah mereka
timpakan ke atas umat perjanjian-Nya.—Yes 10:12-14; 13:1, 17-22; 14:4-6, 12-14,
26, 27; 47:5-11; Yer 50:11, 14, 17-19, 23-29.
Penglihatan tentang Kerajaan Allah pada Zaman Daniel.
Nubuat dalam buku Daniel secara keseluruhan dengan tandas menekankan Kedaulatan
Universal Allah, sehingga semakin memperjelas maksud-tujuan Yehuwa. Karena
tinggal dalam pembuangan di ibu kota kuasa dunia yang menggulingkan Yehuda,
Daniel digunakan oleh Allah untuk menyingkapkan makna sebuah penglihatan yang
diperoleh raja Babilonia, yaitu yang menubuatkan barisan kuasa-kuasa dunia yang
akhirnya akan dihancurkan oleh Kerajaan abadi yang Yehuwa dirikan. Di hadapan
semua orang di istananya, yang pasti terheran-heran, Nebukhadnezar, sang
penakluk Yerusalem, pada saat itu tergerak untuk sujud dan memberikan
penghormatan kepada Daniel, orang buangan ini, dan untuk mengakui Allah yang
disembah Daniel sebagai ”Tuan atas segala raja”. (Dan 2:36-47) Sekali lagi,
melalui penglihatan yang diperoleh Nebukhadnezar dalam mimpinya mengenai ’pohon
yang ditebang’, Yehuwa secara tegas menyatakan bahwa ”Yang Mahatinggi adalah
Penguasa atas kerajaan manusia dan bahwa ia memberikannya kepada orang yang ia
kehendaki, dan ia mengangkat kepada kedudukan itu bahkan orang yang paling
rendah dari antara umat manusia”. (Dan 4; lihat pembahasan tentang
penglihatan tersebut di bawah judul WAKTU YANG DITETAPKAN BAGI BANGSA-BANGSA.)
Dengan tergenapnya mimpi itu, yang berkaitan dengan dirinya, Raja Nebukhadnezar
sekali lagi harus mengakui Allah yang disembah Daniel sebagai ”Raja yang
berkuasa atas surga”, Pribadi yang ”berbuat menurut kehendaknya sendiri di
antara bala tentara langit dan penduduk bumi. Dan tidak ada seorang pun yang
dapat menahan tangannya atau dapat mengatakan kepadanya, ’Apa yang
kaulakukan?’”—Dan 4:34-37.
Menjelang akhir dominasi internasional Babilon, Daniel
mendapat penglihatan nubuat tentang imperium-imperium yang silih berganti dan
yang karakteristiknya seperti binatang; ia juga melihat Majelis Pengadilan
surgawi Yehuwa yang agung bersidang, menjatuhkan hukuman ke atas kuasa-kuasa
dunia, menyatakan bahwa mereka tidak berhak memerintah; dan ia menyaksikan
”seseorang seperti putra manusia . . . dan kepadanya diserahkan
kekuasaan dan kehormatan dan kerajaan, agar semua orang dari berbagai bangsa,
kelompok bangsa dan bahasa melayani dia” selama ia memegang ”kekuasaan yang
bertahan untuk waktu yang tidak tertentu, yang tidak akan berlalu”. Ia pun
menyaksikan perang yang dilancarkan terhadap ”orang-orang kudus” oleh kuasa
dunia terakhir sehingga kuasa ini sendiri harus dibinasakan, dan penyerahan
”kerajaan, kekuasaan, dan keagungan kerajaan-kerajaan di bawah seluruh langit
. . . kepada orang-orang kudus, umat Pribadi Yang Mahatinggi”, Allah
Yehuwa. (Dan 7, 8) Jadi, jelaslah bahwa ’benih’ yang dijanjikan itu
berkaitan dengan suatu badan pemerintahan yang tidak hanya dikepalai oleh
seorang raja, ”putra manusia”, tetapi juga oleh para penguasa sekunder, yakni
”orang-orang kudus, umat Pribadi Yang Mahatinggi”.
Atas Babilon dan Media-Persia. Ketetapan Allah yang tak
dapat diubah terhadap Babilon yang perkasa terlaksana secara mendadak dan tidak
terduga; hari-harinya telah dihitung dan sudah berakhir. (Dan 5:17-30) Pada masa
pemerintahan berikutnya, yaitu Media-Persia, Yehuwa menyingkapkan lebih lanjut
hal-hal berkenaan dengan Kerajaan Mesianik, yaitu saat munculnya Mesias, nubuat
bahwa ia akan ”dilenyapkan”, dan juga bahwa kota Yerusalem beserta tempat
kudusnya akan dibinasakan untuk kedua kalinya. (Dan 9:1, 24-27; lihat TUJUH
PULUH MINGGU.) Lalu, seperti yang telah Ia lakukan pada masa pemerintahan
Babilonia, Allah Yehuwa sekali lagi memperlihatkan kesanggupan-Nya untuk
melindungi orang-orang yang mengakui kedaulatan-Nya meskipun mereka menghadapi
kemarahan para pejabat dan ancaman kematian, dengan mempertunjukkan kuasa-Nya
atas unsur-unsur di bumi serta binatang buas. (Dan 3:13-29; 6:12-27) Ia
menyebabkan pintu-pintu gerbang Babilon terbuka lebar sesuai dengan jadwal sehingga
umat perjanjian-Nya dapat memperoleh kebebasan untuk kembali ke tanah air
mereka dan membangun kembali rumah Yehuwa di sana. (2Taw 36:20-23) Karena Allah
membebaskan umat-Nya, pengumuman dapat disampaikan kepada Zion, ”Allahmu telah
menjadi raja!” (Yes 52:7-11) Setelah itu, persekongkolan melawan umat-Nya
digagalkan dan masalah penyalahgambaran oleh para pejabat bawahan serta
ketetapan-ketetapan pemerintah yang merugikan diatasi karena Yehuwa
menggerakkan raja-raja Persia yang berlainan untuk bekerja sama dalam
pelaksanaan kehendak-Nya yang absolut.—Ezr 4-7; Neh 2, 4, 6; Est 3-9.
Dengan demikian, selama ribuan tahun maksud-tujuan Allah
Yehuwa yang tidak berubah dan tidak dapat ditentang terus bergerak maju.
Tidak soal perubahan peristiwa-peristiwa di bumi, Ia terbukti selalu dapat
mengendalikan situasinya, selalu mengungguli manusia yang menentang dan iblis.
Apa pun tidak diizinkan untuk mengganggu pelaksanaan maksud-tujuan dan
kehendak-Nya secara sempurna. Bangsa Israel dan riwayatnya, selain menjadi gambaran
dan bayangan nubuat tentang cara Allah berurusan dengan manusia di masa depan,
juga memberikan gambaran bahwa tanpa pengakuan dan ketundukan yang sepenuh hati
kepada kekepalaan ilahi tidak akan ada keharmonisan, kedamaian, dan kebahagiaan
yang langgeng. Orang Israel mendapatkan manfaat karena memiliki nenek moyang,
bahasa, dan negeri yang sama. Mereka juga menghadapi musuh-musuh yang sama.
Tetapi hanya selama mereka dengan loyal dan setia menyembah dan melayani Allah
Yehuwa, mereka dapat memiliki persatuan, kekuatan, keadilan, dan kenikmatan
hidup yang sejati. Apabila ikatan dengan Allah Yehuwa melemah, kondisi bangsa
itu memburuk dengan cepat.
Kerajaan Allah ”Sudah Dekat”. Karena Mesias harus
keturunan Abraham, Ishak, dan Yakub, harus salah satu anggota suku Yehuda, dan
juga ”putra Daud”, ia harus lahir sebagai manusia; ia harus seorang ”putra
manusia” sebagaimana dinyatakan dalam nubuat Daniel. Ketika ”kesudahan jangka
waktu itu” tiba, Allah Yehuwa mengutus Putra-Nya, yang lahir dari seorang
wanita dan yang memenuhi semua tuntutan hukum untuk mewarisi ”takhta Daud,
bapaknya”. (Gal 4:4; Luk 1:26-33; lihat SILSILAH YESUS KRISTUS.) Enam bulan
sebelum kelahiran Yesus, lahirlah Yohanes, yang menjadi sang Pembaptis dan yang
akan menjadi pembuka jalan bagi Yesus. (Luk 1:13-17, 36) Pernyataan yang
diucapkan oleh orang tua kedua putra ini memperlihatkan bahwa mereka telah lama
menantikan dengan penuh harap tindakan Allah sehubungan dengan
pemerintahan-Nya. (Luk 1:41-55, 68-79) Pada waktu Yesus lahir, kata-kata kelompok
malaikat yang diutus sebagai wakil Yehuwa untuk mengumumkan arti peristiwa ini
juga menunjuk kepada tindakan Allah yang mulia. (Luk 2:9-14) Demikian pula,
kata-kata Simeon dan Hana di bait mengungkapkan harapan akan tindakan
penyelamatan dan pembebasan. (Luk 2:25-38) Menurut catatan Alkitab maupun bukti
sekuler, orang Yahudi pada umumnya telah mengantisipasi bahwa kedatangan sang
Mesias sudah dekat. Namun, banyak orang terutama berminat untuk memperoleh
kemerdekaan dari kuk yang berat berupa dominasi orang Romawi.—Lihat MESIAS.
Tugas Yohanes ialah ’membuat hati orang-orang berbalik’
kepada Yehuwa, kepada perjanjian-perjanjian-Nya dan ”hak istimewa untuk
memberikan dinas suci kepada dia tanpa perasaan takut disertai loyalitas dan
keadilbenaran”, dengan demikian mempersiapkan bagi Yehuwa ”suatu umat yang
siap”. (Luk 1:16, 17, 72-75) Ia memberi tahu bangsa itu secara gamblang bahwa
mereka akan menghadapi masa penghakiman oleh Allah dan bahwa ”kerajaan surga
sudah dekat”, yang berarti mereka perlu segera bertobat dan berpaling dari
haluan ketidaktaatan kepada kehendak dan hukum Allah. Hal ini sekali lagi
menandaskan standar Yehuwa bahwa Ia hanya menginginkan orang-orang yang tunduk
secara sukarela, yang mengakui dan juga menghargai kebenaran jalan-jalan
serta hukum-hukum-Nya.—Mat 3:1, 2, 7-12.
Sang Mesias datang ketika Yesus menghadap Yohanes untuk
dibaptis dan kemudian diurapi dengan roh kudus Allah. (Mat 3:13-17) Dengan
demikian, ia menjadi Calon-Raja, Pribadi yang oleh Majelis Pengadilan Yehuwa
diakui memiliki hak yang sah atas takhta Daud, hak yang tidak digunakan selama
enam abad sebelumnya. (Lihat YESUS KRISTUS [Baptisannya].) Tetapi Yehuwa juga
mengadakan suatu perjanjian untuk Kerajaan surgawi dengan Putra yang diperkenan
ini; dalam Kerajaan itu Yesus akan menjadi Raja maupun Imam, seperti
Melkhizedek dari Salem zaman dahulu. (Mz 110:1-4; Luk 22:29; Ibr 5:4-6; 7:1-3;
8:1; lihat PERJANJIAN.) Sebagai ’benih Abraham’ yang dijanjikan, Raja-Imam surgawi
ini akan menjadi Wakil Utama Allah untuk memberkati orang-orang dari segala
bangsa.—Kej 22:15-18; Gal 3:14; Kis 3:15.
Pada awal kehidupan Putra-Nya di bumi, Yehuwa sudah
memanifestasikan kuasa-Nya sebagai raja demi kepentingan Yesus. Allah menyuruh
para ahli nujum dari Timur, yang akan memberi tahu Raja Herodes yang lalim di
mana anak kecil itu berada, pulang melalui jalan lain dan Ia menyebabkan orang
tua Yesus dengan diam-diam melarikan diri ke Mesir sebelum orang-orang Herodes
melaksanakan pembantaian anak-anak kecil di Betlehem. (Mat 2:1-16) Karena
nubuat awal di Eden telah memberitahukan mengenai permusuhan antara ’benih’
yang dijanjikan dan ’benih ular’, upaya pembunuhan Yesus tersebut pasti
menunjukkan bahwa Musuh Allah, Setan si Iblis, mencoba, meskipun sia-sia,
menggagalkan maksud-tujuan Yehuwa.—Kej 3:15.
Sesudah berada di Padang Belantara Yudea selama kira-kira
40 hari, Yesus yang baru dibaptis dikonfrontasi oleh pribadi ini, yang menjadi
penentang utama kedaulatan Yehuwa. Melalui cara tertentu, Musuh yang adalah
makhluk roh ini menyampaikan kepada Yesus saran-saran licik yang dirancang
untuk memancing Yesus agar melakukan hal-hal yang melanggar kehendak dan firman
Yehuwa yang sudah dinyatakan. Setan bahkan menawarkan kepada Yesus yang sudah diurapi
ini kekuasaan atas semua kerajaan di bumi, tanpa perlu berperang
dan menderita—sebagai penukar satu tindakan penyembahan kepada
diri Setan. Ketika Yesus menolak, karena mengakui bahwa Yehuwa adalah
satu-satunya Pribadi Berdaulat yang sejati, sumber wewenang yang sah dan
Pribadi yang harus disembah, Musuh Allah mulai menyusun siasat perang lain
untuk melawan Wakil Yehuwa, memperalat manusia dengan berbagai cara,
sebagaimana yang telah ia lakukan jauh sebelumnya dalam kasus Ayub.—Ayb 1:8-18;
Mat 4:1-11; Luk 4:1-13; bdk. Pny 13:1, 2.
Bagaimana Kerajaan Allah ”ada
di tengah-tengah” orang-orang yang Yesus kabari?
Dengan menaruh keyakinan akan kuasa Yehuwa untuk
melindungi dan memberinya sukses, Yesus memulai pelayanannya kepada masyarakat,
mengumumkan kepada umat perjanjian Yehuwa bahwa ”waktu yang ditetapkan telah
digenapi”, yang berarti Kerajaan Allah sudah dekat. (Mrk 1:14, 15) Untuk
menentukan dalam arti apa ”kerajaan Allah sudah dekat”, kita dapat
memperhatikan kata-kata Yesus kepada beberapa orang Farisi, yaitu bahwa
”kerajaan Allah ada di tengah-tengah kamu”. (Luk 17:21) Ketika mengomentari
ayat itu, The Interpreter’s Dictionary of the
Bible menyatakan, ”Walaupun sering dikutip sebagai contoh ’mistisisme’
atau ’kebatinan’ Yesus, penafsiran ini sebagian besar didasarkan pada
terjemahan lama, ’di dalam kamu’, [KJ, Dy] yang dimengerti dalam
makna modern yang kurang cocok sebagai ”kamu” dalam bentuk tunggal; ”kamu” ([hy·mon′])
di sini adalah bentuk jamak (Yesus sedang berbicara kepada orang-orang
Farisi—ay. 20) . . . Teori bahwa kerajaan Allah adalah keadaan
pikiran yang lebih dalam, atau keadaan telah diselamatkan secara pribadi,
bertentangan dengan konteks ayat ini, dan juga dengan penyampaian gagasan ini
dalam seluruh P[erjanjian] B[aru].” (Diedit oleh G. A. Buttrick,
1962, Jil. 2, hlm. 883) Karena ”kerajaan [ba·si·lei′a]” dapat
berarti ”kebesaran kerajaan”, jelaslah bahwa apa yang Yesus maksudkan adalah
bahwa dia, wakil kerajaan Allah, pribadi yang diurapi Allah untuk jabatan raja
tersebut, ada di tengah-tengah mereka. Ia tidak hanya hadir dalam kapasitas itu
tetapi juga memiliki wewenang untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang
memanifestasikan kuasa Allah sebagai raja dan untuk mempersiapkan para calon
yang akan memegang kedudukan di dalam pemerintahan Kerajaannya. Itulah sebabnya
Kerajaan itu dikatakan sudah ”dekat”; itulah saat terbukanya pintu kesempatan
yang menakjubkan.
Pemerintahan dengan kuasa dan
wewenang. Murid-murid Yesus mengerti bahwa Kerajaan ini benar-benar
pemerintahan Allah, meski mereka tidak memahami jangkauan wilayah kekuasaannya.
Natanael mengatakan kepada Yesus, ”Rabi, engkau adalah Putra Allah, engkau
adalah Raja Israel.” (Yoh 1:49) Mereka tahu hal-hal yang dinubuatkan mengenai
”orang-orang kudus” dalam nubuat Daniel. (Dan 7:18, 27) Yesus secara
langsung menjanjikan kepada pengikut-pengikutnya, para rasul, bahwa mereka akan
duduk di atas ”takhta”. (Mat 19:28) Yakobus dan Yohanes mencari kedudukan
istimewa dalam pemerintahan Mesianik, dan Yesus mengakui adanya kedudukan
istimewa semacam itu kelak, tetapi ia menyatakan bahwa hanya Bapaknya, Penguasa
Tertinggi, yang menetapkan itu semua. (Mat 20:20-23; Mrk 10:35-40) Jadi,
murid-muridnya secara keliru berpikir bahwa pemerintah Mesias sebagai raja
hanya akan berkuasa di bumi dan secara spesifik atas Israel jasmani, bahkan
masih menganggapnya demikian pada hari Yesus yang sudah dibangkitkan naik ke
surga (Kis 1:6), tetapi belakangan mereka memahami dengan benar bahwa kerajaan
itu menunjuk kepada suatu tatanan pemerintahan.—Bdk. Mat 21:5; Mrk
11:7-10.
Kuasa Yehuwa sebagai raja atas ciptaan-Nya di bumi
dipertunjukkan secara nyata dengan banyak cara oleh Wakil kerajaan-Nya. Melalui
roh atau tenaga aktif Allah, Putra-Nya mengendalikan angin dan laut, tumbuhan,
ikan, dan bahkan unsur-unsur organik dalam makanan, yang menyebabkan makanan
berlipat ganda. Karena menyaksikan perbuatan-perbuatan yang penuh kuasa itu,
murid-muridnya mengembangkan respek yang dalam akan wewenang yang Yesus miliki.
(Mat 14:23-33; Mrk 4:36-41; 11:12-14, 20-23; Luk 5:4-11; Yoh 6:5-15) Yang
bahkan lebih mengesankan lagi adalah bagaimana ia menggunakan kuasa Allah atas
tubuh manusia, dengan menyembuhkan berbagai penderitaan mulai dari kebutaan
sampai penyakit kusta, serta menghidupkan orang mati. (Mat 9:35; 20:30-34; Luk
5:12, 13; 7:11-17; Yoh 11:39-47) Yesus menyuruh para penderita kusta yang
telah disembuhkan agar memberikan laporan kepada para imam, yang mendapat
wewenang ilahi, tetapi yang umumnya tidak mau percaya, ”sebagai kesaksian
kepada mereka”. (Luk 5:14; 17:14) Akhirnya, ia mempertunjukkan kuasa Allah atas
roh-roh adimanusiawi. Hantu-hantu mengakui wewenang yang telah dikaruniakan
kepada Yesus dan, sebaliknya dari mengambil risiko mengadu kekuatan dengan
kuasa yang mendukungnya, mereka menuruti perintahnya untuk membebaskan
orang-orang yang mereka rasuki. (Mat 8:28-32; 9:32, 33; bdk. Yak
2:19.) Karena hantu-hantu ini diusir dengan kuasa roh Allah, berarti Kerajaan
Allah benar-benar ’telah datang ke atas’ para pendengarnya.—Mat 12:25-29;
bdk. Luk 9:42, 43.
Semua itu adalah bukti yang kuat bahwa Yesus memiliki
wewenang sebagai raja dan bahwa sumber wewenang ini bukanlah dari bumi,
manusia, atau kekuatan politik mana pun. (Bdk. Yoh 18:36; Yes
9:6, 7.) Para utusan yang dikirim oleh Yohanes Pembaptis yang dipenjarakan,
sebagai saksi perbuatan-perbuatan penuh kuasa tersebut, diperintahkan oleh
Yesus untuk kembali kepada Yohanes dan memberi tahu dia apa yang telah mereka
lihat dan dengar guna meneguhkan bahwa Yesus memang ”Pribadi Yang Akan Datang
itu”. (Mat 11:2-6; Luk 7:18-23; bdk. Yoh 5:36.) Murid-murid Yesus melihat dan
mendengar bukti tentang wewenang Kerajaan yang para nabi zaman dahulu ingin
saksikan. (Mat 13:16, 17) Lagi pula, Yesus dapat mendelegasikan wewenang
kepada murid-muridnya sehingga mereka pun bisa memperlihatkan kuasa yang serupa
sebagai wakil-wakilnya yang terlantik, dengan demikian memberikan kekuatan dan
bobot kepada pengumuman mereka, ”Kerajaan surga sudah dekat.”—Mat 10:1,
7, 8; Luk 4:36; 10:8-12, 17.
Masuk ke dalam Kerajaan. Yesus menandaskan bahwa kini
telah tiba periode istimewa untuk meraih kesempatan. Mengenai Yohanes
Pembaptis, pembuka jalan bagi dirinya, Yesus berkata, ”Di antara mereka yang
dilahirkan wanita tidak pernah tampil yang lebih besar daripada Yohanes Pembaptis;
tetapi seseorang yang lebih kecil dalam kerajaan surga lebih besar daripada
dia. Namun sejak masa Yohanes Pembaptis hingga sekarang, kerajaan surga adalah
tujuan yang ke arahnya orang-orang mendesak [bi·a′ze·tai], dan mereka
yang mendesak maju [bi·a·stai′] merebutnya. [Bdk. AT.]
Karena semuanya, Kitab Para Nabi dan Hukum, bernubuat hingga Yohanes.” (Mat
11:10-13) Jadi, masa pelayanan Yohanes, yang akan segera berakhir pada waktu ia
dieksekusi, menandai penutup suatu periode, dan menjadi awal periode yang lain.
Mengenai kata kerja Yunani bi·a′zo·mai yang digunakan dalam ayat itu, Vine’s
Expository Dictionary of Old and New Testament
Words mengatakan, ”Kata kerja ini menyiratkan upaya sekuat tenaga.”
(1981, Jil. 3, hlm. 208) Mengenai Matius 11:12, pakar Jerman bernama
Heinrich Meyer menyatakan, ”Dengan cara inilah digambarkan upaya yang keras dan
gigih, bergairah dan tak terbendung untuk memperoleh kerajaan Mesianik yang
sudah dekat . . . Minat kepada kerajaan itu begitu antusias dan
energik (tidak lagi dengan tenang dan penuh harap). Maka [bi·a·stai′]
adalah orang-orang percaya [bukan musuh yang menyerang] yang
berjuang keras untuk memilikinya.”—Critical and Exegetical
Hand-Book to the Gospel of Matthew
karya Meyer, 1884, hlm. 225.
Oleh karena itu, keanggotaan dalam Kerajaan Allah tidak
mudah diperoleh, tidak seperti menghampiri sebuah kota yang terbuka yang dapat
dimasuki tanpa atau dengan sedikit kesulitan saja. Sebaliknya, Pribadi Yang
Berdaulat, Allah Yehuwa, telah menaruh perintang guna mencegah masuk
orang-orang yang tidak layak. (Bdk. Yoh 6:44; 1Kor 6:9-11; Gal 5:19-21; Ef
5:5.) Orang-orang yang akan masuk harus melewati jalan yang sempit, menemukan
gerbang yang sempit, terus meminta, terus mencari, terus mengetuk, dan jalan
akan terbuka. Mereka akan mendapati bahwa jalan itu ”sempit” dalam arti
orang-orang yang menempuh jalan itu dilarang melakukan hal-hal yang akan
merugikan mereka sendiri atau orang lain. (Mat 7:7, 8, 13, 14; bdk. 2Ptr
1:10, 11.) Mereka mungkin secara kiasan harus kehilangan satu mata atau
satu tangan agar dapat masuk. (Mrk 9:43-47) Kerajaan ini bukan plutokrasi
(pemerintahan di tangan orang-orang kaya) sehingga seseorang dapat membeli
perkenan Raja; orang kaya (Yn., plou′si·os) sulit masuk ke dalamnya.
(Luk 18:24, 25) Bukan pula aristokrasi duniawi; kedudukan terkemuka di
antara manusia tidak ada artinya. (Mat 23:1, 2, 6-12, 33; Luk 16:14-16)
Mereka yang tampaknya adalah orang-orang yang ”pertama”, karena memiliki latar
belakang dan reputasi keagamaan yang mengesankan, akan menjadi yang ”terakhir”,
dan ”yang terakhir akan menjadi yang pertama” menerima hak-hak istimewa yang
berkaitan dengan Kerajaan. (Mat 19:30–20:16) Orang-orang Farisi yang terkemuka
tetapi munafik, yang merasa yakin dengan kedudukan mereka yang menguntungkan,
akan melihat para sundal dan pemungut pajak yang telah membuat perubahan, masuk
ke dalam Kerajaan mendahului mereka. (Mat 21:31, 32; 23:13) Meskipun
memanggil Yesus ”Tuan, Tuan”, semua orang munafik yang tidak merespek firman
dan kehendak Allah yang disingkapkan melalui Yesus akan ditolak dengan
kata-kata, ”Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari hadapanku, hai,
orang-orang yang melanggar hukum.”—Mat 7:15-23.
Orang-orang yang dapat masuk adalah yang menomorduakan
kepentingan materi dan mencari dahulu Kerajaan serta keadilbenaran Allah. (Mat
6:31-34) Seperti halnya Raja yang diurapi Allah, Kristus Yesus, mereka akan
mencintai keadilbenaran dan membenci kefasikan. (Ibr 1:8, 9) Orang-orang
yang berpikiran rohani, berbelaskasihan, berhati murni, suka damai, sekalipun
menjadi sasaran ejekan dan penganiayaan oleh manusia, akan menjadi calon
anggota Kerajaan. (Mat 5:3-10; Luk 6:23) ”Kuk” yang Yesus tawarkan kepada
orang-orang demikian untuk dipikul berarti ketundukan kepada wewenangnya
sebagai raja. Namun, kuk itu nyaman dan tanggungannya ringan bagi orang-orang
yang ”berwatak lembut dan rendah hati” seperti sang Raja. (Mat 11:28-30;
bdk. 1Raj 12:12-14; Yer 27:1-7.) Hal ini seharusnya menghangatkan hati para
pendengarnya, meyakinkan mereka bahwa pemerintahannya tidak akan memiliki
sifat-sifat yang tidak menyenangkan seperti pemerintahan banyak penguasa
sebelumnya, baik orang Israel maupun non-Israel. Hal itu memberi mereka alasan
untuk percaya bahwa dalam pemerintahannya tidak akan ada pajak yang membebani,
kerja paksa, ataupun bentuk-bentuk eksploitasi. (Bdk. 1Sam 8:10-18; Ul
17:15-17, 20; Ef 5:5.) Sebagaimana ditunjukkan oleh kata-kata Yesus
belakangan, Kepala pemerintah Kerajaan mendatang ini bukan hanya akan membuktikan
diri tidak egois sampai pada taraf memberikan kehidupannya bagi rakyatnya,
melainkan semua orang yang bergabung dengannya dalam pemerintahan tersebut juga
akan menjadi orang-orang yang berupaya melayani ketimbang dilayani.—Mat
20:25-28; lihat YESUS KRISTUS (Berbagai pekerjaan dan Sifat Pribadinya).
Ketundukan secara sukarela sangat
penting. Yesus sendiri memiliki respek yang sangat dalam kepada kehendak
dan wewenang Tertinggi Bapaknya. (Yoh 5:30; 6:38; Mat 26:39) Selama perjanjian
Hukum masih berlaku, orang-orang Yahudi yang menjadi pengikutnya harus
mempraktekkan dan mendukung ketaatan kepada Hukum; siapa pun yang menempuh
haluan yang bertentangan tidak boleh masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Namun, respek
dan ketaatan ini harus datang dari hati, bukan sekadar menjalankan Hukum secara
formal atau sepihak dengan menekankan tindakan-tindakan spesifik yang dituntut,
melainkan menjalankan prinsip-prinsip dasar yang terkandung di dalamnya yang
menyangkut keadilan, belas kasihan, dan kesetiaan. (Mat 5:17-20;
23:23, 24) Kepada penulis yang mengakui kedudukan unik Yehuwa dan yang
mengakui bahwa ”mengasihi dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian
dan dengan segenap kekuatan dan hal mengasihi sesama seperti diri sendiri
adalah jauh lebih bernilai daripada semua persembahan bakaran yang utuh dan
korban”, Yesus berkata, ”Engkau tidak jauh dari kerajaan Allah.” (Mrk 12:28-34)
Jadi, dalam segala aspek Yesus membuat jelas bahwa Allah Yehuwa hanya mencari
orang-orang yang rela tunduk, mereka yang lebih menyukai jalan-jalan-Nya yang
adil-benar dan yang dengan sungguh-sungguh ingin hidup di bawah wewenang
Pribadi Tertinggi.
Hubungan perjanjian. Pada malam terakhir
bersama murid-muridnya, Yesus memberi tahu mereka tentang ”perjanjian baru”
yang akan diberlakukan atas para pengikutnya sebagai hasil korban tebusannya
(Luk 22:19, 20; bdk. 12:32); ia sendiri akan menjadi Perantara perjanjian
tersebut antara Yehuwa sebagai Pribadi Yang Berdaulat dan para pengikut Yesus.
(1Tim 2:5; Ibr 12:24) Selain itu, Yesus membuat suatu perjanjian pribadi dengan
para pengikutnya ”untuk suatu kerajaan”, agar mereka ikut bersamanya menikmati
hak-hak istimewa kerajaannya.—Luk 22:28-30; lihat PERJANJIAN.
Penaklukan dunia. Walaupun Yesus kemudian
ditangkap, diadili, dan dieksekusi sehingga kedudukannya sebagai raja
seolah-olah tampak lemah, pada kenyataannya hal itu merupakan tanda bahwa
nubuat-nubuat Allah digenapi secara ampuh dan memang diizinkan oleh Allah untuk
alasan tersebut. (Yoh 19:10, 11; Luk 24:19-27, 44) Melalui keloyalan
dan integritasnya sampai mati, Yesus membuktikan bahwa ”penguasa dunia ini”,
Musuh Allah, Setan, ”tidak berkuasa” atas dirinya dan bahwa Yesus benar-benar
telah ”menaklukkan dunia”. (Yoh 14:29-31; 16:33) Selain itu, bahkan sewaktu
Putra-Nya terpantek di atas tiang, Yehuwa membuktikan kuasa-Nya yang lebih
unggul: Cahaya matahari tidak bersinar selama suatu waktu; dan juga terjadi
gempa bumi yang hebat dan tirai besar di bait sobek menjadi dua. (Mat 27:51-54;
Luk 23:44, 45) Pada hari ketiga setelah itu, Ia memberikan bukti yang jauh
lebih besar lagi tentang Kedaulatan-Nya sewaktu Ia membangkitkan Putra-Nya
kepada kehidupan roh, sekalipun ada upaya-upaya yang sia-sia dari manusia untuk
menghalangi kebangkitan itu dengan menempatkan para penjaga di depan makam Yesus
yang dimeteraikan.—Mat 28:1-7.
”Kerajaan Putra yang Ia Kasihi.” Sepuluh hari setelah
Yesus naik ke surga, pada hari Pentakosta tahun 33 M, murid-muridnya
memperoleh bukti bahwa ia telah ”ditinggikan ke sebelah kanan Allah” ketika
Yesus mencurahkan roh kudus ke atas mereka. (Kis 1:8, 9; 2:1-4, 29-33)
Dengan demikian, ”perjanjian baru” mulai bekerja atas mereka, dan mereka
menjadi inti ’bangsa kudus’ yang baru, Israel rohani.—Ibr 12:22-24; 1Ptr
2:9, 10; Gal 6:16.
Kristus kini duduk di sebelah kanan Bapaknya dan adalah
Kepala atas sidang jemaat itu. (Ef 5:23; Ibr 1:3; Flp 2:9-11) Alkitab
memperlihatkan bahwa sejak Pentakosta tahun 33 M, suatu kerajaan rohani
telah dibentuk atas murid-muridnya. Sewaktu menyurati orang-orang Kristen abad
pertama di Kolose, rasul Paulus menyebutkan bahwa Yesus Kristus telah memiliki
suatu kerajaan, ”[Allah] telah melepaskan kita dari wewenang kegelapan dan
memindahkan kita ke dalam kerajaan Putra yang ia kasihi.”—Kol 1:13;
bdk. Kis 17:6, 7.
Kerajaan Kristus sejak hari Pentakosta tahun 33 M
adalah suatu kerajaan rohani yang memerintah atas Israel rohani, yaitu
orang-orang Kristen yang telah diperanakkan oleh roh Allah untuk menjadi
anak-anak rohani Allah. (Yoh 3:3, 5, 6) Pada waktu orang-orang Kristen
yang diperanakkan roh tersebut menerima pahala surgawi, mereka tidak lagi
menjadi rakyat di bumi di bawah kerajaan rohani Kristus, tetapi akan menjadi
raja-raja bersama Kristus di surga.—Pny 5:9, 10.
”Kerajaan Tuan Kita dan Kristusnya.” Rasul Yohanes, yang
menulis menjelang penutup abad pertama M, melalui penyingkapan ilahi
melihat di muka perwujudan baru pemerintahan Allah Yehuwa melalui Putra-Nya di
masa depan. Pada waktu itu, seperti halnya ketika Daud membawa Tabut ke
Yerusalem, dapat dikatakan bahwa Yehuwa ’telah mengambil kuasa-Nya yang besar
dan mulai memerintah sebagai raja’. Itulah saatnya suara-suara yang nyaring di
surga mengumumkan, ”Kerajaan dunia menjadi kerajaan Tuan kita dan Kristusnya,
dan ia akan memerintah sebagai raja, kekal selama-lamanya.”—Pny 11:15, 17;
1Taw 16:1, 31.
Ya, ”Tuan kita”, Tuan Yehuwa yang Berdaulat, yang dengan
tegas menyatakan wewenang-Nya atas ”kerajaan dunia”, menetapkan perwujudan baru
kedaulatan-Nya atas bumi kita. Ia memberi Putra-Nya, Yesus Kristus, bagian
sekunder dalam Kerajaan itu, sehingga kerajaan itu dapat disebut sebagai
”kerajaan Tuan kita dan Kristusnya”. Kerajaan ini lebih besar dan lebih luas
lingkupnya daripada ”kerajaan Putra yang ia kasihi”, yang disebutkan di Kolose
1:13. ”Kerajaan Putra yang ia kasihi” dimulai pada hari Pentakosta tahun
33 M, dan telah memerintah atas murid-murid Kristus yang terurap;
”kerajaan Tuan kita dan Kristusnya” lahir pada pengujung ”waktu yang ditetapkan
bagi bangsa-bangsa” dan memerintah atas seluruh umat manusia di bumi.—Luk
21:24.
Setelah menerima bagian dalam ”kerajaan dunia”, Yesus
Kristus mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menyingkirkan para penentang
kedaulatan Allah. Tindakan pertama diambil di alam surgawi; Setan dan
hantu-hantunya dikalahkan lalu dicampakkan ke wilayah bumi. Hasilnya,
terdengarlah pengumuman, ”Sekarang keselamatan dan kuasa dan kerajaan Allah
kita dan wewenang Kristusnya.” (Pny 12:1-10) Selama periode singkat yang
tersisa baginya, Musuh utama ini, Setan, terus menggenapi nubuat di Kejadian 3:15
dengan memerangi ”orang-orang yang masih tersisa” dari ’benih’ wanita, yaitu
”orang-orang kudus” yang akan memerintah bersama Kristus. (Pny 12:13-17;
bdk. Pny 13:4-7; Dan 7:21-27.) Meskipun demikian, ”ketetapan-ketetapan
[Yehuwa] yang adil-benar” telah dibuat nyata, dan pernyataan penghakiman datang
bagaikan tulah atas orang-orang yang menentang Dia, yang akan mengakibatkan
kehancuran Babilon Besar yang mistis, penganiaya utama hamba-hamba Allah di
bumi.—Pny 15:4; 16:1–19:6.
Setelah itu, ”kerajaan Tuan kita dan Kristusnya” mengutus
bala tentara surgawinya untuk melawan para penguasa semua kerajaan di bumi
serta bala tentara mereka dalam perang Armagedon, dan menghabisi mereka. (Pny
16:14-16; 19:11-21) Inilah jawaban atas permohonan kepada Allah, ”Biarlah kerajaanmu
datang. Biarlah kehendakmu terjadi, seperti di surga, demikian pula di atas
bumi.” (Mat 6:10) Setan kemudian dimasukkan ke dalam jurang yang tidak terduga
dalamnya dan dimulailah masa seribu tahun pemerintahan Kristus Yesus beserta
rekan-rekan penguasanya sebagai raja dan imam atas penduduk bumi.—Pny
20:1, 6.
Kristus ”menyerahkan kerajaan”.
Rasul Paulus juga menggambarkan pemerintahan Kristus selama masa kehadirannya.
Setelah Kristus membangkitkan para pengikutnya dari kematian, ia mulai
”meniadakan semua pemerintah dan semua wewenang dan kuasa” (yang secara masuk
akal memaksudkan semua pemerintahan, wewenang, dan kuasa yang menentang
kehendak Allah yang absolut). Kemudian, pada akhir Pemerintahan Mileniumnya, ia
akan ”menyerahkan kerajaan kepada Allah dan Bapaknya”, dengan menundukkan diri
kepada ”Pribadi yang menundukkan segala sesuatu kepadanya, agar Allah menjadi
segala sesuatu bagi setiap orang”.—1Kor 15:21-28.
Mengingat Kristus ”menyerahkan kerajaan kepada Allah dan
Bapaknya”, dalam pengertian apa Kerajaannya itu ”abadi”, sebagaimana disebutkan
berulang kali dalam Alkitab? (2Ptr 1:11; Yes 9:7; Dan 7:14; Luk 1:33; Pny
11:15) Kerajaannya ”tidak akan pernah binasa”; apa yang telah dicapainya akan
bertahan untuk selama-lamanya; ia akan dihormati untuk selama-lamanya karena
peranannya sebagai Raja Mesianik.—Dan 2:44.
Selama Pemerintahan Seribu Tahun itu, Kristus juga akan
bertindak sebagai imam bagi umat manusia yang taat. (Pny 5:9, 10; 20:6;
21:1-3) Melalui sarana itu berakhirlah kekuasaan dosa dan kematian sebagai raja
atas umat manusia yang taat, yang takluk kepada ”hukum” mereka; kebaikan hati
yang tidak selayaknya diperoleh dan keadilbenaran itulah yang akan berkuasa.
(Rm 5:14, 17, 21) Karena dosa dan kematian akan sepenuhnya disingkirkan dari
penduduk bumi, berakhir pula kebutuhan akan peranan Yesus sebagai ”penolong di
hadapan Bapak” dalam arti ia tidak perlu lagi mengadakan pendamaian bagi
dosa-dosa manusia yang tidak sempurna. (1Yoh 2:1, 2) Dengan demikian, umat
manusia akan kembali kepada kondisi semula yang pernah dinikmati manusia
sempurna Adam di Eden. Selama Adam sempurna, ia tidak membutuhkan siapa pun
sebagai perantara antara dia dan Allah untuk membuat pendamaian. Demikian pula,
di pengujung Pemerintahan Seribu Tahun Yesus, penduduk bumi akan siap dan harus
memberikan pertanggungjawaban untuk haluan tindakan mereka di hadapan Allah
Yehuwa sebagai Hakim Tertinggi, tanpa meminta bantuan kepada siapa pun sebagai
perantara atau penolong yang sah. Dengan demikian Yehuwa, Penguasa Tertinggi, menjadi
”segala sesuatu bagi setiap orang”. Ini berarti maksud-tujuan Allah untuk
”mengumpulkan kembali segala perkara dalam Kristus, perkara-perkara di surga
dan perkara-perkara di bumi”, sudah akan terwujud sepenuhnya.—1Kor 15:28; Ef
1:9, 10.
Tujuan Pemerintahan Milenium Yesus sudah akan tercapai
sepenuhnya. Bumi, yang pernah menjadi pusat pemberontakan, akan dipulihkan
menjadi tempat yang lengkap, bersih, dan tidak dapat diganggu gugat dalam
wilayah atau daerah kekuasaan Penguasa Universal. Tidak akan ada lagi kerajaan
tambahan antara Yehuwa dan umat manusia yang taat.
Namun, setelah itu akan ada suatu ujian akhir atas
integritas dan pengabdian semua orang yang tunduk di bumi. Setan dilepaskan
dari belenggunya di jurang yang tidak terduga dalamnya. Sehubungan dengan
orang-orang yang menyerah kepada bujukan Setan, yang tersangkut adalah sengketa
yang pernah diajukan di Eden: keabsahan kedaulatan Allah. Hal itu terlihat
sewaktu mereka menyerang ”pasukan orang-orang kudus dan kota yang dikasihi”.
Mengingat bahwa sengketa tersebut telah diselesaikan secara hukum dan
dinyatakan tuntas oleh Pengadilan surga, dalam hal ini pemberontakan tidak akan
diizinkan berlangsung untuk waktu lama. Orang-orang yang tidak tetap loyal di
pihak Allah tidak dapat memohon kepada Kristus Yesus sebagai ’penolong
pendamaian’, tetapi Allah Yehuwa akan menjadi ”segala sesuatu” bagi mereka,
tanpa ada kemungkinan untuk naik banding ataupun meminta penengah. Semua
makhluk roh dan manusia yang memberontak akan mendapat vonis ilahi berupa pembinasaan
dalam ”kematian kedua”.—Pny 20:7-15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar